Sponsor

Selasa, 01 Februari 2011

BOM TIGA KILOGRAM

Ada kericuhan di rumah duka. Orang-orang yang pada mulanya ingin menghadiri acara pemakaman salah seorang tetangga mereka dengan tenang malah jadi ribut, langsung bubar, berlarian keluar dari rumah duka. Sebenarnya ada apa?
Ketika masyarakat di kampung itu sudah selesai memandikan dan mengkafani jenazah itu, dan orang yang bertugas menjadi imam baru saja hendak mengangkat tangannya untuk takbiratul ihram, tiba-tiba saja para perempuan yang berada di dekat pintu masuk jadi ribut, berteriak-teriak tidak karuan. “Tangkap! Ayo, cepat tangkap!” kata yang satu, “Ayo, kita kepung!” sahut yang lain, tidak mau kalah. Para pria yang mau menshalati jenazah itu jadi terganggu dengan kehebohan mereka. Mereka menoleh ke belakang sambil bergumam marah.
Ternyata ada kucing hitam yang masuk ke dalam rumah itu. Larinya semakin cepat karena takut mendengar teriakan perempuan di luar, namun para pria yang mau menshalati jenazah itu cuma bengong, memandang kosong ke arah kucing hitam yang lari di antara kaki mereka. Tak terlintas di pikiran mereka menangkap kucing itu.
Sang imamlah yang pertama kali berinisiatif untuk menangkap kucing itu. Namun ketika berhasil menangkapnya, kucing itu melawan. Dia mencakar tangan imam itu. Sang imam menjerit kesakitan dan tanpa sengaja melepaskan si kucing hitam.
Kejadian berikutnyalah yang membuat orang-orang berlarian keluar rumah. Kucing hitam yang ketakutan dan baru saja lepas dari cengkeraman sang imam itu lari sekuat tenaga ke arah jenazah. Kucing itu lalu melompati jenazah yang ada dihadapannya. Spontan, jenazah yang awalnya berbaring di tengah ruangan itu mendadak bangun. Tubuhnya tegak dalam posisi duduk. Matanya terbuka dan melotot.
Tanpa menunggu aba-aba, orang-orang berlarian sambil menjerit. Sang imam pada mulanya ingin membaca ayat kursi, namun baru selesai membaca bismillah, dia melihat orang-orang di belakangnya lari, dan akhirnya dia ikutan lari juga.  
Suara jeritan dan kegaduhan menjauh, meninggalkan jenazah itu yang terus menatap orang yang dulu dicintainya.
***
Apakah kamu memperhatikan kata-kataku?” bentak Adul. Burhan hanya menggut-manggut tidak karuan, tanpa sepenuhnya mengiyakan, “Aku mau saja percaya dengan omonganmu, tapi Lia bukanlah wanita seperti itu!”
“Terserah kamu mau percaya atau tidak, yang penting aku sudah mengatakannya padamu bahwa Lia itu selingkuh! Semua orang di kampung ini sudah ramai membicarakannya! Apa kamu tidak malu?” Adul masih berusaha memanas-manasi Burhan, tapi Burhan hanya diam. Sambil menunduk, perlahan dia meminum tehnya.
Dengan kesal, Adul melihat jam tangannya. Setelah itu dia bergegas menghabiskan tehnya dan membayar apa saja yang dia beli di warung itu. Dia tidak pamit ataupun menoleh ke arah Burhan ketika dia meninggalkan warung itu. Penjaga warung hanya menatap kepergian Adul dengan kebingungan. Dia ingin mengajak Burhan ngobrol tapi kelihatannya Burhan sedang bad mood. Akhirnya dia hanya membersihkan cangkir yang sudah bersih, saking bingungnya harus mengerjakan apa. Ketika Burhan perlahan keluar dari warung, penjaga warung itu pun tidak berani menegur Burhan untuk membayar apa yang dia beli. Takut kalau Burhan nantinya mengamuk di warung itu.
Burhan berjalan ke arah rumahnya berada. Menunduk mandangi bayangannya. Ketika ada orang yang menyapa, dia hanya melirik, tidak benar-benar memandang. Dia memperhatikan mata orang yang menyapanya tadi dan bertanya dalam hati, apakah orang ini tahu jua mengenai perselingkuhan Lia atau malah orang ini yang berselingkuh dengan Lia. Burhan menyentuh dadanya. Sakit. Sepertinya ada paku yang menusuk jantungnya.
Pintu depan rumahnya terbuka sedikit. Perlahan, dia masuk ke dalam. Sunyi. Di mana Lia? Apakah di dalam kamar? Burhan berjalan perlahan menuju kamarnya. Ketika sampai, dia buka pintunya, namun tidak ada siapa-siapa di dalam. Dia berganti haluan menuju dapur.
Dari jendela dapur, dia melihat Lia sedang menjemur cuciannya. Cuaca memang sedang panas-panasnya, tidak ada awan di langit. Lia menyapu keringatnya, setelah itu melirik sekilas ke arah cuciannya, masih banyak yang harus dijemur. Lia lalu membersihkan hidungnya yang mampet. Sangat susah bernapas di saat sedang pilek seperti ini.
Burhan menunduk dan menutupi mata dengan tangannya. Ada rasa marah dan juga bingung. Setelah itu dia masuk lagi ke dalam kamarnya. Diambilnya jarum dari dalam laci di kamar itu. Lalu dia kembali lagi ke dapur. Dia tusukkan jarum itu ke selang yang menghubungkan tabung gas dengan kompor. Bau gas langsung tercium. Burhan menatap istrinya yang sedang menjemur cucian itu dari jendela dapur,  setelah itu dia bergegas keluar dari rumah itu.
Burhan celingak-celinguk dengan gugup, memperhatikan sekitarnya kalau-kalau ada yang melihat dia keluar dari rumah itu, namun sepertinya aman. Dia cepat-cepat menjauhi rumahnya. Jantungnya berdebar dengan kencang. Setelah terasa jauh dari rumahnya, dia berhenti dan bernaung di bawah pohon mangga.
Di sana dia memikirkan masalah yang sedang dihadapinya. Ini bukan masalah apakah Lia benar-benar selingkuh atau tidak. Hanya mendengar Lia selingkuh saja hatinya sudah terasa terbakar, apalagi jika dia tahu bahwa kabar itu benar. Burhan merasa, cepat atau lambat, Lia pasti bakalan selingkuh.
“Apakah kamu sudah tidak cinta lagi padaku? Mengapa kamu mengkhianati aku?” Suara Lia masuk ke dalam pikiran Burhan. Tidak hanya suaranya, Burhan merasa kembali ke peristiwa yang lalu, ketika dia sedang dimarahi oleh Lia. Lia memukul tubuh Burhan sekuat tenaga, namun kelihatannya kekuatannya habis dibawa oleh air matanya. Burhan tidak merasa sakit sama sekali.
Waktu itu Burhan belum tahu rasanya dikhianati, “Ini bukan karena aku tidak cinta lagi padamu! Aku tetap cinta padamu!” Dia pikir kata-kata seperti itu bisa mengobati hati Lia yang terluka. “Kamu berdusta! Jika kamu masih cinta padaku, mengapa kamu selingkuh dengan Erna? Dengan wanita itu!” Burhan tidak tahu harus bicara apalagi.
Pikirannya berpindah ke peristiwa lain. Sekarang giliran wajah Erna yang muncul dalam pikiran Burhan. Bukan kehendak Burhan jika dia bertemu dengan wanita itu, Erna secara tiba-tiba muncul dalam kehidupan Burhan, dan perasaan suka dengan wanita itu juga muncul secara tiba-tiba. Entah mengapa Burhan jadi menyukai wanita itu.
“Mengapa kamu tidak meninggalkan Lia? Mengapa kamu tidak menikahi aku saja?” Erna mendesak Burhan yang menggeleng gelisah, “Lia itu adalah istri yang baik, tidak ada alasan untuk meninggalkan dia!” kata Burhan, lalu Erna tersenyum, “Jika ada alasan untuk meninggalkan Lia, kamu pasti meninggalkan dia?” Burhan tidak berani menjawab pertanyaan itu.
Tidak lama setelah pembicaraan itu, tiba-tiba saja tersiar kabar tentang perselingkuhan Lia. Burhan tahu itu tidak benar. Dia tahu fitnah itu pasti perbuatan Erna, tapi tetap saja hati Burhan jadi sakit. Burhan takut jika perselingkuhannya dengan Erna berakibat Lia ikut selingkuh juga. Burhan benar-benar takut hal itu terjadi.
Burhan meraba kantongnya, diambilnya kotak rokoknya, namun geretannya tidak ada. Setelah itu barulah dia ingat, geretannya tertinggal di rumah Erna.
***
Lia masuk ke dalam dapur. Dia lihat dari jendela dapur jemurannya yang bergoyang-goyang di bawah terik matahari. Saat itu, dia ingin memasak. Dia siapkan bahan-bahan untuk membuat makanan yang paling disukai Burhan. Sebenarnya waktu itu dia merasa mencium bau-bau yang tidak biasanya, tapi karena dia sedang pilek, tidak jelas bau apa itu. Dia terus saja membuat masakannya. Setelah itu, dia mau menyalakan kompor gasnya. Dia cari kotak korek api di dalam laci dan ketemu. Dia ambil sebatang korek api itu, dan dia gesekkan pada sisi kotaknya, tapi tidak mau menyala. Korek apinya basah.
Dia ambil lagi sebatang. Saat itu, Erna masuk lewat pintu dapur, “ Lia, Burhannya ada?” Lia tidak menjawab, acuh tak acuh pada Erna. Dia gesekkan lagi korek api itu ke sisi kotaknya, tapi masih tidak bisa. Melihat hal itu, Erna tersenyum, “Ada apa? Tidak bisa, ya? Nih, aku punya geretan!” Dia serahkan geretan milik Burhan, “Ini geretan milik Burhan yang tertinggal di rumahku semalam, makanya aku ke sini mau mengembalikan geretan ini!” Lia sebenarnya tahu itu geretan milik Burhan, oleh karena itulah hatinya terasa sakit sekali, “Aku tidak mau bekas tanganmu!” bentaknya.
 “Wah, wah, wah!” Erna tertawa. Lia masih berusaha menyalakan sebatang korek api lagi, tapi tetap tidak bisa. Jengkel, dia lempar kotak korek api itu ke bak sampah. Dengan cepat dia melintas di samping Erna, tetap cuek, “Mau kemana? Eh, apa benar kamu selingkuh?” Erna kembali tertawa, tertawa lebih keras, menertawakan berita yang dibuatnya sendiri. “Tunggu saja di situ! Burhan sebentar lagi pulang!” kata Lia, pura-pura tidak mendengar kata-kata Erna.
Lia keluar rumah lewat pintu dapur, rencananya mau membeli korek api di kios yang ada di depan rumahnya. Setelah dia keluar rumah, sekilas dia mendengar suara Erna, “Bau apa ini?” Tapi Lia tidak perduli, terus saja berjalan. Ketika sampai di halaman rumahnya, dia bertemu dengan Burhan yang terlihat sangat ketakutan, “Alhamdulillah, kamu tidak apa-apa!” kata Burhan, menangis sambil memeluk Lia. “Kamu kenapa? Mengapa menangis?” Lia kebingungan. “Aku sungguh-sungguh minta maaf padamu, aku selingkuh dengan Erna, tapi kamu jangan selingkuh dengan laki-laki lain, ya! Aku janji akan memutuskan hubunganku dengan Erna!” kata Burhan, membuat Lia semakin kebingungan, mengapa suaminya minta maaf sampai menangis seperti itu? “Baiklah! Asalkan kamu benar-benar melaksanakan apa yang telah kamu janjikan!” Lia menghapus air mata suaminya, “Sekarang Ernanya ada di dalam rumah! Dia mencarimu, katanya dia ingin mengembalikan geretan milikmu!” Burhan terkejut, “Benarkah?” katanya, “Ya-“ jawab Lia, namun sepertinya Burhan tidak menunggu jawaban istrinya. Dia bergegas lari dan masuk ke dalam rumahnya. Lia hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah suaminya itu. Setelah itu, Lia perlahan berjalan ke arah kios yang ada di seberang rumahnya.
Baru saja Lia menyeberang dan saling pandang dengan Acil Aluh, pemilik kios itu, belum benar-benar sampai, tiba-tiba saja terdengar suara ledakan yang berasal dari rumah Burhan, “Duaarr!” Badan Lia terasa melambung terbawa angin deras yang diakibatkan ledakan itu. Mata Acil Aluh juga hampir keluar melihat rumah Burhan meledak dan terbakar. Beliau bergegas keluar kios, seperti orang-orang di sekitarnya, yang terkejut mendengar suara ledakan itu, ingin melihat asal suara ledakan itu.
Lia terkesima, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Yang pertama kali dipikirkannya adalah bagaimana nasib Burhan, “Burhan? Burhan?” Dia berteriak-teriak histeris dan berlari menuju rumahnya. Namun dia ditahan oleh Acil Aluh yang takut Lia nekat masuk ke dalam rumah yang masih terbakar itu. Saat orang-orang berdatangan membantu memadamkan api itu, Lia masih berteriak histeris, “Bagaimana nasib suamiku? Bagaimana nasib suamiku?” namun tak berapa lama kemudian dia diam, pingsan.
***
Rumah duka itu begitu sunyi. Orang-orang sudah lari tunggang-langgang. Namun masih ada bebarapa yang bertahan di dalam rumah itu, termasuk oarang yang bertugas jadi imam, rupanya dia kembali untuk menyelesaikan membaca ayat kursi, mungkin jika sudah selesai barulah dia benar-benar menghilang. Lia tersandar di dinding, jantungnya berdetak dengan kencang, napasnya tidak teratur, menatap jenazah suaminya yang duduk di hadapannya.
Dia tidak tahu harus bicara apa. Dia juga tidak berani mendekati jenazah suaminya itu. Dia benar-benar tidak mengerti kejadian seperti ini. Dia juga tidak tahu mengapa rumahnya bisa meledak seperti itu, membuat suaminya dan Erna tewas.
Lia menatap mata Burhan. Mata itu memang melotot, namun makin diperhatikan, makin terlihat jelas, rasa penyesalan di dalamnya. Lia merasa, jika saja mata itu masih bisa menangis, pipi Burhan akan menjadi sungai yang dalam. Jika mulut itu masih bisa meminta maaf, suara guntur pun takkan sanggup mengalahkan kerasnya suara Burhan.
Tidak apa-apa, Sayang! Kamu, saya maafkan!” kata Lia, terisak.
   Gambut, 25-12-2010