Suasana hening. Dina masih saja menatapku dengan tajam.
Matanya bagaikan sebilah pedang yang menghunus jantungku. Entah kenapa aku
merasa takut pada istriku sendiri. Dalam pikirannya ada sesuatu yang sedang
bermain, sesuatu yang tidak aku ketahui. Aku melihat itu dari matanya.
“Jika kamu tidak mau menceritakan padaku tentang masa
laluku, bagaimana aku bisa sembuh!” Dia akhirnya kembali merengek di hadapanku,
“Sembuh? Kamu tidak sakit, Sayang!
Lupakan kata dokter, kehilangan ingatan adalah sebuah pembebasan, tidak semua
memori itu indah dan baik dikenang, Sayang!” Aku beranjak dari meja makan, mata
Dina masih mengintaiku dari belakang.
“Tidak indah? Tidak baik untuk dikenang? Memangnya apa yang
terjadi di masa laluku?”
Aku berjalan dengan cepat menuju kamar. Dia mengikutiku,
masih terus bertanya, sedikit membentak, dan menarik bajuku. Saat di kamar, dia
juga mencoba masuk tapi kudorong dia keluar. Aku perlu menyendiri. Aku duduk di tepi ranjang, memandangi jendela
yang seperti bingkai lukisan. Kabut tipis masih menyelimuti pohon-pohon pinus
di samping rumahku.
Masih kudengar suara Dina dari balik pintu tapi tidak lama.
Suaranya diakhiri dengan suara tendangan di pintu, kemudian terdengar suara
langkah menjauh. Kutarik napasku dalam-dalam, lalu kuhembuskan kuat-kuat, namun
tak satupun beban pikiranku berkurang.
Dokter menyarankan agar aku mengajak istriku berlibur,
memberi suasana tenang padanya. Dokter bilang kecelakaan yang menimpa kami
telah merenggut sebagian besar ingatannya, dan tentu saja juga telah merenggut nyawa putri kami. Dia juga
menyarankan sebaiknya aku menceritakan tentang masa lalunya secara
perlahan-lahan, apalagi tentang kematian putrinya, agar dia tidak terguncang.
Tapi aku sama sekali tidak berniat memberitahukan masa lalunya. Jika tujuannya
adalah agar dia tidak terguncang, sedih atau ketakutan, maka sebaiknya dia
tidak mengetahui satu hal pun tentang masa lalunya.
Keadaan yang sunyi ini membuatku takut. Mungkin sebaiknya
aku melihat apa yang dilakukan oleh Dina. Setelah keluar dari kamar, kulihat
Dina sedang duduk di ruang tengah. Di pangkuannya, terbuka sebuah album foto.
Dia membolak-balik halaman album itu
tanpa mengingat satu wajah pun.
Aku duduk di sampingnya, memeluknya dan mengecup keningnya,
“Maafkan aku, Sayang!” kataku. Matanya, bagaikan sebilah pedang, menatap balik
ke arahku, “Jika kamu tidak mau memberitahuku tentang masa laluku, maka aku
akan mencarinya sendiri!” Kata-katanya dingin tapi aku tidak menyadari hal itu
adalah sesuatu yang berbahaya.
***
Menjelang siang, matahari semakin terik, lebih daripada
biasanya, atau mungkin hanya perasaanku saja? Aku berjalan sendirian dalam
kepungan pohon-pohon pinus yang menjulang. Sengaja aku tidak mengajak Dina. Jika
aku mengajaknya, tentu dia akan terus berusaha memancingku untuk menceritakan
masa lalunya. Aku benar-benar ingin sendiri saat ini. Aku ingin melupakan masa
lalu. Jauh dari Dina dan segalanya yang tidak aku suka.
Aku punya seorang teman di tempat kerjaku. Seorang
perempuan, Mona namanya. Dia pernah dengan sungguh-sungguh mengajakku pergi
dari kehidupan yang membosankan ini. Memulai kehidupan yang baru. Bersamanya.
Aku mengatakan aku punya seorang istri dan seorang putri. Dia tidak mau
mengerti. Aku tak pernah menganggap hubungan kami serius, walaupun dia sebaliknya.
Memulai kehidupan
baru...
Sejak itulah pikiran itu menjadi virus di otakku, walaupun
aku tak pernah berniat memulainya bersama Mona. Tapi Dina takkan bisa mengerti,
mengapa aku ingin meninggalkan dia, aku sendiri juga punya keterbatasan dalam
menjelaskannya. Dia pikir kehidupan kami bahagia. Aku tak bisa menyalahkan dia
jika berpikir seperti itu. Mungkin aku yang bermasalah. Aku bermain api dengan
Mona sebagai pelarian dari sesuatu hal yang tidak aku mengerti. Tapi sama
sekali tidak menyenangkan, malah membuatnya semakin rumit.
Tiba-tiba saja sepasang tupai mengejutkanku. Mereka lari
terbirit-birit, menjauh dariku, kemudian memanjat sebuah pohon. Aku teringat
pada Dina, sepertinya sudah terlalu lama aku pergi. Lagipula matahari sudah
terlalu terik menyengat tengkukku.
Ketika sampai di depan pintu, aku mendengar Dina tertawa.
Kupikir ada seseorang yang berkunjung. Tapi ketika aku masuk, tak ada seorang
tamu pun di rumah. Aku menemukan Dina tersenyum ke arahku di ruang tengah. Di
pangkuannya terbuka sebuah album foto. Entah mengapa aku merasa posisi duduknya
aneh.
“Ada apa, Sayang?” kataku, Dia tidak segera menjawab,
seperti mendengarkan sesuatu di sampingnya. Kemudian dia tersenyum dan menarik
tanganku, memintaku duduk di sampingnya. Dia menceritakan semua peristiwa yang
ada di dalam foto yang diperlihatkannya padaku. Aku terkejut bukan main,
“Bagaimana kamu bisa mengetahuinya, Sayang?” Dina menempelkan telunjuknya ke
bibirnya, “Katanya kamu belum boleh
mengetahuinya!” Dia tersenyum geli. Aku semakin terkejut sekaligus takut, “Katanya?”
Terus terang saja, aku menjalani hari-hari berikutnya
dengan rasa takut, Dina semakin sering mendengarkan suara di sampingnya itu.
Kadang dia tersenyum lalu tertawa, kadang dia merasa cemas bahkan menangis.
Pada awalnya, dengan wajah yang meyakinkan, dia bilang itu adalah suara
hatinya. Namun kemudian dia mulai terus terang bahwa orang yang bersedia menceritakan masa lalunya itu adalah perempuan
bernama Michelle.
“Mungkinkah-“ Aku tak berani melanjutkan pertanyaanku. Michelle
yang kukenal adalah putri kami. Namun sepertinya yang ada dalam pikirannya
berbeda, karena setiap kali membuka foto Michelle, dia sama sekali tidak
menunujukkan bahwa itulah Michelle yang dimaksud, bahkan sepertinya dia sama
sekali tidak mengenalinya..
“Apakah di dalam album foto ini ada yang bernama Michelle?”
tanyaku, Dina menggeleng perlahan, terlihat ragu, “Tidak ada! Tapi aku tidak
benar-benar tahu. Tidak semua masa laluku dia ungkapkan, katanya aku harus
menunggu jika ingin mengetahui semua ingatanku!”
Aku merinding. Apakah dia itu hantu? “Apakah sebaiknya aku
mengantarmu ke psikiater?” Sial, aku
salah bicara. Dina menatapku, sepertinya dia tersinggung. “Bukankah kau yang
bilang aku tidak sakit! Lagipula, biar bagaimanapun caranya, akhirnya aku mengetahui
masa laluku! Seharusnya kamu senang!”
Aku sama sekali tidak senang.
“Kamu tidak mau memberitahukan masa laluku, mengapa? Sampai
saat ini tidak ada masalah, kan?”
Aku tidak menjawab. Aku hanya menelan air liurku.
Tenggorokanku terasa kering.
Setelah itu, aku semakin fokus dan serius dalam mengawasi
perubahan sikap Dina, tapi kelihatannya tidak ada yang berubah, hanya aku saja
yang semakin ketakutan. Pernah suatu kali, aku pergi berbelanja sendirian, aku
tak bisa mengajaknya pergi karena kalihatannya dia lebih suka mendengarkan suara hantu itu. Ketika aku pulang, aku
menemukannya sedang bermain ayunan di samping rumah. Mungkin sedang
mendengarkan suara hantu. Dia
menatapku dengan curiga, tapi kemudian dia tersenyum, senyum yang tak bisa
kuartikan maknanya.
Aku ingin minta bantuan, tapi tidak tahu harus menghubungi
siapa. Akhirnya aku memutuskan untuk segera menghubungi dokter ahli jiwa. Dia
mengatakan bahwa mungkin saja itu bukan hantu, mungkin saja itu adalah
pikirannya sendiri. Keingintahuannya yang sangat besar terhadap masa lalunya,
memancing ingatannya yang tersembunyi di alam bawah sadarnya muncul ke
permukaan, namun ingatannya belum tersusun rapi sehingga nama putrinya malah disandang oleh orang lain.
Soal dia melihat atau mendengar seseorang dari ingatannya, sepertinya itu masih
berhubungan dengan keingintahuannya terhadap masa lalunya itu. Dia perlu
seseorang untuk memberitahunya, sedangkan aku tidak mau, namun keinginan itu
sangat kuat dan menyebabkan dia berhalusinasi. Halusinasi itu sendiri dibentuk
oleh alam bawah sadarnya yang mengambil wujud dan nama seseorang dari masa
lalunya. Tapi dokter itu belum yakin dengan kebenaran teorinya, sangat jelas
terdengar dari suaranya. Dia memintaku membawa Dina untuk pemeriksaan lebih
lanjut, agar bisa memastikan keadaan yang sebenarnya.
Aku memutuskan hubungan telpon. Aku tidak mengerti apa yang
dokter itu katakan, bahkan aku pikir dia juga tidak mengerti apa yang dia
katakan. Dia hanya memberiku omong kosong. Aku juga tidak bisa membawa Dina
untuk diperiksa. Dia pasti takkan mau, dan memaksanya, takkan mudah.
***
Lalu lintas cukup lengang. Sepertinya populasi manusia
telah banyak berkurang. Aku melirik ke samping. Dina kelihatannya sedang
merenung, membelai rambut Michelle, putriku, yang duduk di samping Dina dan
disibukkan oleh permen karet di mulutnya.
Aku menekan-nekan tombol radio di mobilku, mencari channel
yang pas untuk suasana seperti ini. Suasana dimana istrimu sedang marah padamu
dan kau tak bisa berbuat apa-apa. Tapi kelihatannya tak ada yang cocok, malah
kelihatannya membuat Dina semakin kesal.
Aku mulai menjalankan mobil, tapi mendadak ada yang mengetuk
kacanya. Ternyata Mona. Kupikir
wanita ini memang sudah gila, apa dia tak tahu istriku ada di dalam mobil. Aku
keluar dan menariknya ke belakang mobil, “Masalahmu apa, sih?” bentakku. Dia
senyam-senyum, “Aku hanya minta diantar pulang!”
“Apa tak bisa diantar orang lain?”
“Tak bisa! Yang lain sedang sibuk!”
Hah, alasan konyol
macam apa itu. Rupanya pertengkaran kami di luar,
menyulut amarah Dina. Dia keluar dengan wajah tenang, kentara sekali sedang
menahan amarahnya, “Ada apa, Bram?”
“Mona ingin diantarkan pulang, sedangkan kita tidak bisa,
kan?”
“Siapa bilang?
Antarkan dia pulang!”
Aku bingung dan kesal, apalagi melihat wajah gembira Mona. Aku
tahu dia merasa ingin menari-nari, terlihat dari caranya berjalan. Dia merasa
dia telah menang, dan aku tak suka itu. Aku masuk ke dalam mobil, melihat wajah
bingung Michelle, aku ingin sekali berkata bahwa aku juga sama bingungnya
dengan dia. Tidak lama kemudian, mobilku melintas di jalan raya. Di tengah lalu
lintas yang lengang, suasana di dalam mobil seperti kuburan dan Mona sebagai
setannya.
Beberapa hari yang lalu, entah mengapa Mona menelpon ke
rumahku, tapi pastinya secara tersirat dia ingin memberitahu Dina bahwa dia
memiliki hubungan yang istimewa denganku. Mona berhasil. Dina menelan umpannya.
Sejak itu Dina mulai marah-marah dan mempertanyakan bagaimana kehidupanku di
kantor. Dia memaksakan dirinya untuk mengantar dan menjemputku dari kantor.
Terus terang, agak memalukan. Teman-temanku bertanya mengapa istriku jadi
overprotektif begitu, tentu saja aku menjawabnya dengan berbohong.
Rumah Mona lumayan jauh dari kantor, dan melewati jalan
yang cukup sunyi. Aku melirik ke samping, Dina tidak menggunakan sabuk pengaman,
aku ingin menegurnya tapi tiba-tiba wajah Mona menyembul dari jok belakang. Dia
membicarakan hal-hal yang tidak penting, hanya ingin merusak suasana yang sudah
seperti kuburan menjadi seperti neraka.
Aku tidak memerdulikan omongannya, aku
memandang lurus ke depan. Tidak jauh di depan kami, ada tikungan yang sangat
tajam. Aku pernah melewatinya. Di samping tikungan itu ada jurang yang cukup
curam, jika kita tidak hati-hati, kita bisa celaka.
Sesuatu terlintas di pikiranku, sesuatu tentang
meninggalkan segalanya dan memulai kehidupan baru. Tapi beranikah aku? Jarak antara mobilku dengan mobil lain di
belakang cukup jauh, sedangkan tepi jalan hanya dipenuhi oleh pohon-pohon bisu.
Aku harus berani
mengambil resiko! Aku melepaskan sabuk pengaman dan meningkatkan
kecepatan. aku tak terlalu mendengarkan, tapi sepertinya Mona agak ketakutan
dan menyarankan untuk mengurangi kecepatan. Ketika mobil mencapai tepi jurang,
semua perempuan berteriak. Mona memaki dan mengumpat, Michelle menangis,
sedangkan Dina, sekilas kulihat wajahnya memandangku dengan ngeri, sepertinya
dia menangkap maksudku.
Tanpa latihan, tanpa rencana yang matang, sebenarnya
kemungkinan aku selamat juga sangat kecil. Aku tak tahu, di saat seperti ini,
agar aku selamat, apakah aku sebaiknya berdoa pada tuhan atau pada setan.
Ketika bagian depan mobil melewati bibir jurang, aku membuka pintu mobil dan melompat
keluar. Mona dan Dina secara bersamaan berusaha menarik pakaianku, tapi mereka
tak cukup kuat, dan goncangan akibat benturan juga menolongku.
Aku berjumpalitan, seperti juga mobilku, tapi mobilku
terlihat lebih mengerikan. Setelah aku berhenti berguling-guling di bebatuan
dan hampir menabrak pohon, aku merasakan tubuhku penuh luka-luka, tapi aku
masih hidup. Aku mendekati mobilku. Aku tak tahu apakah mobilku akan meledak
seperti di film-film. Aku harus memastikan orang-orang di dalamnya sudah mati.
Kulihat Mona terjungkal ke depan, badannya penuh luka dan
lehernya patah. Dina dan Michelle sepertinya meniru jurusku, mereka melompat
dari mobil ketika mobil sedang berguling-guling, tapi sepertinya tidak
seberuntung aku. Dalam pelukan ibunya, Michelle terlihat mengerikan, wajah dan
tubuhnya penuh luka dan darah. Sedangkan Dina, aku tidak tahu apakah .... Aku memeriksa napas dan detak
jantungnya. Ternyata dia masih hidup.
Aku mencoba mencekiknya, tapi mobil yang tadinya berada cukup jauh di belakang
mobilku telah sampai di tepi jurang. Mereka melihat mobilku meluncur masuk
jurang, walaupun tak tahu yang sebenarnya sedang terjadi. Mereka berlarian ke
luar dari mobil dan menuruni jurang dengan hati-hati, “Hei, bagaimana keadaan di sana?” teriak seseorang di antara mereka.
“Istriku masih hidup!” jeritku,
berusaha agar tak terdengar seperti menyesalinya.
Beberapa saat kemudian di rumah sakit, barulah kuketahui
istriku hilang ingatan. Aku tak tahu apakah aku seharusnya merasa beruntung
atau tidak.
***
Aku mondar-mandir di dalam kamar. Aku bingung, takut,
menyesal, gelisah, sepertinya aku menghadapi jalan buntu. Apakah aku harus mencoba
membunuh Dina sekali lagi, tapi jika begitu, bukankah semua tuduhan akan
mengarah padaku, tak ada apapun di sini yang bisa dijadikan kambing hitam. Kami
hanya berdua, jika Dina mati terbunuh, pastilah aku yang jadi tersangkanya. Apa
bisa aku membuatnya seperti kecelakaan? Bagaimana kalau rumah ini kubakar? Tapi
ahli forensik zaman sekarang pasti bisa mengetahui sebab kebakaran di rumah
ini, bahkan mungkin dengan mudah.
Celah, aku harus menemukan celah. Bagaimana kalau aku pergi saja
meninggalkan Dina, membiarkan dia hidup, tapi kalau ingatannya pulih? Dia akan
melaporkan peristiwa kecelakaan itu sebagai tindakan yang disengaja dan
akhirnya sama saja, aku akan ditangkap. Aku seperti menghadapi buah simalakama.
Kecelakaan mobil itu adalah rencana paling baik yang
terpikirkan olehku, tapi mengapa Dina selamat?
Sudahlah,
lain kali aku pikirkan lagi, saat ini aku benar-benar buntu. Aku keluar dari
kamar. Aku merasa rumah ini sangat sunyi. Biasanya juga sunyi, karena di rumah
hanya ada aku dan Dina, tapi sekarang lebih sunyi dari biasanya, bahkan terasa
mencekam.
Aku menemukan Dina sedang duduk di meja makan. Sekilas dia
menatapku dengan pandangan marah, tapi detik berikutnya dia tersenyum. Mungkin
itu hanya perasaanku saja, tapi sekarang aku telah memutuskan jalan keluarnya.
“Apakah hari ini
Michelle menceritakan hal-hal yang baru padamu?” tanyaku, aku berjalan
melewatinya dan mencium kepalanya. Di samping meja makan, di belakang Dina,
adalah dapur dengan tetek bengeknya. Aku pura-pura mengambil cangkir, tapi
tanganku perlahan membuka laci berisi pisau dan lain-lain.
“Ya, hari ini Michelle memberitahuku kejadian yang sangat
penting!”
Aku merasa punggungku sakit sekali. Di laci, kulihat ada
pisau yang hilang. Dina menggunakannya untuk menusukku. Aku berbalik menghadapi
Dina, berusaha menangkap tangannya yang memegang pisau, tapi Dina terus saja
menusuk tubuhku. Aku terjatuh ke lantai, tak berdaya. Darah yang merembes dari
lubang-lubang di tubuhku, memenuhi lantai dapur.
Sakit sekali. Pandanganku berkunang-kunang. Dina terus menusukku dengan membabi
buta, tapi aku tak sanggup lagi menjerit. Saat kurasakan jemari maut telah
mencengkeram jiwaku, kulihat seseorang di belakang Dina.
Mona memperlihatkan
taringnya yang runcing di sela senyumnya.
Sial, dia masih menungguku.
Seharusnya aku tahu ...
Gambut, 27-01-2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar