Di antara kepulan asap knalpot taksi dan kendaraan–kendaraan
lainnya yang meraung–raung di jalan raya, siswa–siswi SMA berderet membentuk
barisan dalam naungan Halte yang teduh, anehnya mereka terlihat lebih rapi
dibandingkan ketika upacara. Saat sebuah taksi menyinggahi mereka, sikut-menyikut
tak bisa dihindari, seakan–akan taksi itu adalah satu–satunya di dunia.
Sedangkan yang tak kebagian tempat, masih terus berceloteh dengan kelompoknya
hingga taksi berikutnya datang membungkam mereka, tapi jika mereka berpikir
bahwa mereka takkan kebagian tempat lagi, maka mereka akan kembali berceloteh.
Rossy dan Naira berusaha membelah barisan itu, namun tubuh
gemuk di hadapan mereka bukanlah lawan yang bisa mereka singkirkan walaupun
mereka berdua menyatukan kekuatan, sehingga mereka tersudut ke tiang Halte itu.
“Jadi, bagaimana dengan rencanamu?“ tanya Naira dengan permen karet di
mulutnya.
Rossy jadi terlihat bingung, “Rencanaku yang mana?“
“Dulu kau bilang padaku, tahun ini kau akan mulai membuka
diri untuk menerima cowo berpacaran denganmu! Apa kau sudah lupa? Jangan sampai
teman–teman menyangka kau lesbi, karena kemana–mana kau membuntutiku terus!“
“Tapi membuka diri untuk siapa? Agus? Yang masuk ke setiap kelas, kemudian nembak cewe yang
disukainya di kelas itu, tapi kalau dia ditolak, dia pindah lagi ke kelas
berikutnya dan nembak cewe berikutnya yang dia sukai? Menjijikkan!“
“Asal jangan masukkan nama Syaipul dari kelas bahasa ke
dalam daftarmu. Pikirannya kotor sekali, jangan–jangan kamu hanya akan jadi
pelampiasan hawa nafsunya. Cewe–cewe di kelasnya juga alergi sama dia!“
“ Eiuh! Jangan
sampe deh, sama dia! ”
Tiba–tiba ada yang menyeruak ke dalam kerumunan itu, dan
senyum Randy menyembul di antara bahu orang–orang. Pada mulanya, Randy menatap
wajah Rossy, yang langsung trenyuh dibuatnya, tapi detik berikutnya, tatapan
mata Randy berpaling ke arah Naira. Naira sih santai aja, udah ratusan kali dia
ketemu sama Randy, mengapa kali ini harus berbeda dari biasanya. Tapi tatapan
mata itu... membuat atmosfir berubah jadi kerasa aneh.
Eits, gila nih,
kelihatannya Naira bentar lagi bakalan ditembak sama Randy! Kata-kata itu nyelonong masuk ke dalam benak anak–anak SMA itu, emang
sih tidak ada yang wah dari diri
Randy, apalagi menurut pandangan para pelajar yang skeptis, bahwa tidak ada cowo yang istimewa di sekolahan mereka.
Tapi apa boleh buat, nyatanya survey
membuktikan bahwa banyak banget yang suka sama Randy, walaupun data survey itu tidak dikaji secara serius
melainkan hanya dari banyaknya cewe yang waktu ngobrol secara sepintas mengaku
suka sama Randy. Jadi, ya ... pikiran skeptis
itu hanya dimiliki oleh cowo yang gak laku aja.
Randy kelihatan kikuk, Naira akhirnya jadi deg–degan juga,
permen karet yang ada di mulutnya, yang udah gak kerasa manis itu, hampir aja
tertelan. “Ada apa, Ran? “ tanya Naira,
“Eh, anu nih ...
gimana, ya?“
“Kamu gak pa–pa, kan?“
“Ya... ada apa–apanya
juga sih“
“ Maksud kamu apa sih? “
“Kamu ... kamu
mau gak jadi pacarku?“
Jutaan mulut (kalo mulut semut juga dihitung), jadi
ternganga mendengar pernyataan Randy, sekarang semuanya pada khusyu’ menantikan
jawaban Naira yang perasaannya jadi gak karuan, kayak diaduk ama blender. Naira
pun sibuk garuk–garuk kepalanya, ampe kutu–kutunya jadi korban dan ketombenya
berjatuhan. Sebenarnya dia udah lama memendam perasaan suka ama Randy, jadi ini
seperti pucuk dicinta ulam pun tiba, tapi untuk memenuhi unsur dramatis, dia
bergaya mikir dulu, padahal dia takut juga kalo kelamaan, si Randy bisa berubah
pikiran.
“Iya deh! Eh, maksudku ... ya ... aku mau coba pacaran ama
kamu!“
Jawaban Naira itu langsung disambut dengan tepuk tangan dan
sorak sorai dari para penonton. Gak ngerti juga kenapa mereka jadi begitu
girang padahal dapat duit juga nggak. Yang pacaran Randy dan Naira, yang girang
banget kok mereka. (Heran gue, padahal yang nulis gue!).
Adegan–adegan yang terjadi kemarin (sekarang udah keesokan
harinya) berseleweran dalam benak Rossy, seperti slide yang ditampilkan proyektor
butut milik sekolahannya. Seiring dengan pergantian adegan dalam ingatannya
itu, perasaannya juga semakin bertambah sakit, seakan–akan ada pisau tak
terlihat dalam memorinya, yang menyayat hatinya. Tanpa disadarinya, air matanya
sudah main kejar-kejaran di pipinya. Perasaan
apa ini? Bentak Rossy pada dirinya sendiri. Seharusnya dia gembira, karena
sahabatnya, Naira, sekarang pacaran sama kakak kelas mereka, yang sama-sama
mereka kagumi. Tapi sepertinya, rasa kagum itu memiliki arti yang berbeda dalam
hati Rossy. Entah sejak kapan, perasaan kagum itu berubah jadi rasa suka, dan
mungkin... cinta.
Matahari pagi bersinar terik, membakar awan dan ilalang
yang menari-nari dipermainkan angin. Setelah sepanjang waktu istirahat, dia
habiskan di belakang laboraturium bahasa yang sepi, merenungi nasibnya, dia
terpaksa kembali ke kelas karena suara lonceng sudah memanggil. Dan jadilah
hari itu menjadi hari paling nge-bete-in
sepanjang sejarah. Gimana ngga?
Selama sisa waktu sekolah, si Naira nyerocos terus soal hari pertama dia
pacaran ama Randy, ditambah lagi dengan nada bicara pak Hadi, guru mata
pelajaran sejarah, yang mendayu-dayu, seperti musik keroncong tahun 80-an, lebih
manjur dibandingkan obat tidur bahkan obat bius sekalipun. Waktu pak Hadi
berceloteh tentang Adolf Hitler, Rossy berusaha melawan rasa ngantuknya dengan
membayangkan kumis Hitler nongkrong di atas bibir Naira yang monyong kayak bibir
Hitler lagi pidato. Agak mendingan, sih. Jadi seperti kata pepatah, sekali
dayung dua tiga pulau terlampaui. Bete hilang, ngantuk pun berkurang.
Detik-detik penuh perjuangan itu berakhir oleh suara
lonceng yang bergema di sepanjang koridor. Mendengarnya, Rossy jadi pengen
sujud syukur atau berteriak dan melompat setinggi-tingginya. Tapi tentu aja
semua itu gak dilakukannya, soalnya kalo terlalu lebay malah dikira orang gila.
Jadinya, dia hanya nyengir lebar-lebar, mengiringi kepergian pak Hadi dan
lirikan Naira yang yang berpikir sohibnya udah gak waras.
Tapi sepertinya, hari paling nge-bete-in sepanjang sejarah itu, gak duduk manis di dalam kelas aja,
malah ikutan keluar kelas. Mata Rossy terpaksa melihat Naira pulang sambil
diboncengin Randy pake motornya. Naira pake dadah-dadah sambil ketawa-ketiwi
segala lagi (sok kegirangan banget, sih!). “Entar sore, jangan lupa datang ke
rumahku, ya!”. Rossy memukul dahinya sekuat tenaga (kalo ada palu, bisa-bisa
dia pake palu juga tuh!), meratapi nasibnya. Ternyata hari paling nge-bete-in sepanjang sejarah itu memang
sangat panjang dan melelahkan.
Waktu terus memutar detik-detik hingga akhirnya sampai pada
waktu shalat ashar. Rossy berusaha memperlama shalat asharnya karena dia tahu
setelah shalat, dia harus ke rumah Naira. Apalagi
yang bakalan diceritain Naira? pikir Rossy, semakin resah aja. Walaupun
diperlama, shalat itu akhirnya selesai juga, tapi dia kemudian juga memperlama
waktu berdandannya. Selesai berdandan, dia bingung, apalagi yang bisa
diperlama. Dia berjalan dari cermin menuju motornya yang ternyata telah raib bin gak ada. “Motor kemana, Mi?”
tanya Rossy pada maminya. “Dipinjam Kakakmu! Tadi dia buru-buru jadi gak sempet
bilang sama kamu!”.
“Lama, ya?”
“Kayaknya sih begitu!”
Rossy melompat seadanya, dan memukulkan tinjunya ke udara,
sambil ketawa-ketawa. Maminya jadi ternganga, melihat anaknya kena gangguan
jiwa. Motor dipinjam kakak, lalu gak bisa ke rumah Naira, eh malah jadi gila. Kasihan. Setelah mingkem, maminya jadi
geleng-geleng kepala kayak orang lagi zikir. Rossy lekas-lekas menelpon
sohibnya. Berharap pertemuan mereka gagal.
“Halo, Nai?”
“Iya, Ross! Kenapa?”
“Aduh, sorry banget, ya! Kayaknya aku gak bisa ke rumah
kamu, deh!”
“What! Emangnya
kenapa?”
“Motorku dipinjam kakakku, aku jadi gak bisa kemana-mana! Padahal aku pengen banget ketemuan ama kamu!”
(sambil ngomong begitu, bibir Rossy jadi memble).
“Oh, kamu so sweet
banget, deh! Kebetulan Randy lagi ada di sini, nih! Gimana kalo dia yang
jemput kamu?”
“Waduh, gak usah ampe ngerepotin gitu, dong!” (mampus nih gue, pikir Rossy).
“Gak ngerepotin, kok! Iya kan, sayang?” (sayup-sayup terdengar suara Randy menyahut, “Iya-iya, gak pa-pa, kok!”).
“Kamu tunggu aja, nanti Randy yang jemput kamu!”
Rossy terpaksa mengiyakan, pembicaraan pun selesai. Rossy
dengan membabi buta, membenturkan
kepalanya ke dinding. Maminya yang lagi menyapu di dekatnya jadi berteriak
histeris, “Wah, anakku gila beneran!”
Tak lama kemudian Randy bener-bener datang ngejemput Rossy.
Ngeliat Randy senyam-senyum di depan rumahnya, perasaan Rossy jadi deg-degan,
tapi setelah ingat dia akan melihat Randy dan Naira bakalan bermesraan,
jantungnya langsung rontok. Rossy naik ke atas motor Randy dengan khidmat,
membayangkan yang dinaikinya itu adalah Randy (waw, porno nih!). “Kamu suka
yang cepat ato yang santai?” tanya Randy, “Santai aja, dong!” jawab Rossy
girang, padahal kalo terlalu lama berdekatan dengan Randy malah jantung Rossy
yang berdetak secepat 150 km/jam.
Angin yang nakal mempermainkan perasaan Rossy,
menghantarkan aroma tubuh Randy yang harum ke indera penciuman Rossy, sementara
suara motor Randy terdengar seperti irama musik dangdut di telinganya (jadi
pengen goyang gitu, deh!). Tapi tiba-tiba motor itu merusak suasana. Motor itu
mogok dan dalam sekejap membuyarkan lamunan Rossy. “Astaga!” jerit Randy, “Ada apa, Ran?” rintih Rossy. “Kayanya mogok
nih! Coba kuperiksa sebentar!” Cukup lama Randy mengotak-atik motornya, namun
akhirnya berhenti dan memandang motornya dengan putus asa. “Wah, aku ga tau
lagi harus gimana, nih!” Tapi Rossy merasa kurang yakin, pikirnya dia
dikerjain, “Kamu becanda, kan?”
“Emangnya motorku keliatan becanda?”
“Yah... Motor
kamu emang butut, sih! Eh, maksudku aku ga ngerti soal motor!”
“Kalo ga salah, di sana ada bengkel, deh! Ke sana, yuk!”
“Jalan kaki?”
“Jalan tangan!
Ya, jalan kakilah!”
Cuaca saat itu cerah, kalo ga bisa dibilang terik. Randy
mendorong motornya yang mogok dengan wajah merengut, sedangkan Rossy
mengiringinya sambil menendang kerikil. Randy melirik Rossy sekilas, yang
tertangkap basah oleh Rossy. Tiba-tiba dia berdeham, untuk membersihkan
tenggorokannya, dengan gugup, semakin membuatnya mencurigakan (kayak orang yang
berniat memperkosa gitu, deh! Duuh,
Rossy jadi deg-degan!).
“Eeeeh, aku boleh ngomong sesuatu, ga?” kata Randy, dengan
wajah kikuk.
“Ya, boleh, dong!” Rossy tambah penasaran. Randy membasahi
bibirnya, lidahnya keluar masuk dengan gugup (kok jadi kayak komodo!). “Aku tidak
tahu bagaimana tanggapanmu jika mendengar omonganku berikut ini, tapi percaya
atau tidak, sebenarnya cewe yang kusukai itu kamu, bukan Naira!”
Benar juga kata Randy, dia ga bakalan tahu bagaimana
perasaan Rossy mendengar ucapannya itu, bahkan Rossy pun selama beberapa detik
merasa kebingungan, perasaan seperti apa yang seharusnya dia rasakan. Apakah
tidak salah kalau dia merasa senang karena dia memang menyukai Randy, atau
apakah dia sebaiknya marah karena Randy telah mempermainkan sahabatnya, atau
jangan-jangan Rossy sendiri yang perasaannya sedang dipermainkan.
Rossy mendadak berhenti berjalan dan langsung memasang
wajah seram, (kayak preman pasar!) “Maksud kamu apa sih, Ran?” bentak Rossy,
“Kamu tidak sedang mempermainkan aku, kan?”
“Tentu saja tidak!”
“Jadi kamu mempermainkan perasaan Naira?”
“Tidak seperti itu juga!”
“Lalu apa maksud kamu, Ran? Aku tidak mengerti!”
Randy berkali-kali menelan ludahnya sampai mulutnya kering,
menggaruk kepalanya sampai terlihat seperti menjambak rambutnya sendiri, mau membanting
motornya tapi sayang. Memang segala yang dilakukannya jadi serba salah. Randy
memberi isyarat agar mereka kembali berjalan. Dengan ogah-ogahan Rossy kembali
mengiringi Randy.
“Eeeeeeeeeee...” Setelah ‘Eeeee’ yang panjang, Randy tetap
saja tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk membela dirinya, “Pokoknya kamu
yang aku sukai, titik!” Akhirnya
malah kata-kata itu yang keluar.
“Lalu kenapa kamu nembak Naira?”
“Mulanya aku memang berniat nembak kamu, tapi setelah liat
kamu, aku gugup banget, padahal aku udah mempersiapkan diri berminggu-minggu!
Aku sendiri tidak mengerti kenapa akhirnya aku nembak Naira! Mungkin karena dia
orangnya lebih cuek!”
“Jadi kamu sengaja mengorbankan Naira, sahabatku?”
“Dia tidak seperti yang kamu pikirkan? Dia segera tahu perasaanku
sebenarnya! Dia yang mengatakan bahwa kamu juga suka sama aku, tapi kamu belum
menyadari betul perasaanmu itu, makanya dia manas-manasin kamu, dia ingin
membuktikan bahwa dia benar!”
Wajah Rossy memerah,
“Kayaknya kamu ke-pede-an, deh!”
“Kamu boleh bilang aku ke-pede-an, atau orang aneh, soalnya
... ya, begitulah!”
“Memang aneh, kan? Kamu kan sudah sering pacaran, kenapa
kamu masih gugup juga?”
“Karena aku tidak mencintai mereka! Perasaanku pada mereka
biasa saja, baik nembak mereka, atau menduakan mereka, atau mutusin mereka, itu
ga masalah! Tapi beda dengan kamu!”
“Bedanya?”
“Kayaknya jawabannya terlalu melankolis, deh! Atau mungkin
terlalu aneh!”
“Ga pa-pa, kok! Santai aja!”
“Terhadap kamu? Kayaknya cinta itu tidak ada bedanya dengan
rasa takut! Aku takut suatu hari aku mutusin kamu, aku takut suatu hari aku menduakan
kamu, menyakiti perasaan kamu, atau kamu yang suatu hari menduakan aku! Aku
selalu dipenuhi rasa curiga pada laki-laki yang ada di sekitar kamu! Itulah
yang akhirnya membuat aku juga takut nembak kamu, kayaknya lebih baik tidak
memilikimu daripada selalu ketakutan kehilangan kamu!”
“Lantas kenapa kamu beritahu aku?”
“Aku hanya ingin membebaskan diriku!”
“Kamu merasa bebas karena telah menyatakan perasaan kamu
padaku, tapi bukankah sekarang aku yang merasa tidak tenang?”
“Kenapa tidak tenang? Bukankah kamu suka padaku dan
sekarang kamu tahu kalau aku juga suka padamu!”
Rossy tersenyum, “Tapi kamu seram juga, ya! Ternyata kamu
posesif!”
“Memang tidak baik, aku juga baru sadar!”
Romansa dua sejoli ini akhirnya harus terganggu oleh
tatapan iri seorang montir bengkel. Randy menyerahkan sepeda motornya pada
montir itu dan menyatakan keluhan-keluhannya. Sedangkan Rossy hanya memandangi
langit yang mulai merona seperti pipinya saat ini. Dia pikir sepertinya hari
paling nge-bete-in sepanjang sejarah ini tidak terlalu buruk juga.
Gambut, 21-01-2011
kerrrreeeen banget...!!!!
BalasHapus