Sponsor

Rabu, 19 Januari 2011

KEBOHONGAN TERBAIK

" Ini tehnya, bu ! " kata Armin, saat dia menghampiri ibunya yang sedang terbaring lemah di atas tempat tidurnya. " Terima kasih, anakku. Kau memang anak yang baik. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jadinya aku tanpa dirimu, anakku ! ". Armin mencoba melepas rasa lelah lewat desah napasnya, " Sudah berapa kali harus saya katakan, ibu jangan berkata seperti itu ! ibu jangan pernah membayangkan saya meninggalkan ibu, itu takkan terjadi, karena saya tak punya kehidupan selain di sisi ibu. Percayalah ! saya tak akan pernah meninggalkan ibu ! lagi pula saya memang harus ada di sini untuk menjaga ibu, kan ? ". Sebaris senyum terlukis di wajah Armin, namun segera ditelan oleh kemuraman hatinya saat dia duduk di tepian ranjang ibunya, " Saya masih belum bisa memahami, mengapa kita bisa berakhir di gubuk reot ini ", dia memandangi langit - langit kamar ibunya dimana seekor lalat sedang terperangkap di dalam sarang laba - laba. " Dulu saya pikir ayah punya segalanya, tapi sekarang ...  ternyata beginilah keadaannya ".
Tiba - tiba terdengar bunyi ketukan dari pintu depan, Armin pun bergegas membukakan pintu itu.
" Seperti yang saya duga sebelumnya, pastilah Anda yang datang, Nyonya Lina ! saya baru saja memikirkan anda ". Seraut wajah wanita paruh baya menyembul dari balik pintu itu, " Pikirkan juga hutangmu padaku, kau bisa saja membuatku rugi ! " bentaknya, tetapi air mukanya yang penuh dengan amarah segera berubah, sikapnya pun jadi aneh, dia celingak - celinguk ke sana kemari seperti memastikan sesuatu.
Dia mendorong Armin masuk ke dalam rumah dengan kasar, " Untung saja tidak ada yang dengar, kalau ada, bisa gawat ! semua orang mengira aku menolong kalian karena kemurahan hatiku ! " gerutunya sambil melotot memandang Armin. " Maaf, jika saya lancang, Nyonya ! tapi saya mohon berbaik hatilah sedikit, kami belum bisa membayarnya sekarang, apalagi saat ini ibu saya sedang sakit ! ". Nyonya Lina semakin geram, " Persetan dengan ibumu ! dia adalah urusanmu, sedangkan urusanku hanyalah mengenai hutangmu itu ! kau mau bayar sekarang atau pergi dari tempat ini ! ". Tetapi dia sendiri terlihat ragu saat dia melayangkan pandangannya di ruangan itu, " Ah, kelihatannya rumahmu ini pun belum bisa melunasi semua hutangmu padaku, jadi rupanya urusan kita tidak akan cepat selesai ! ".
Wajah Armin sedari tadi menampakkan ekspresi yang tidak jelas, entah kemarahan, atau kedukaan, atau mungkin juga kebingungan, karena dia tak bisa lagi menemukan kosakata yang tepat untuk meluluhkan hati Nyonya Lina, dia sudah mati langkah. Namun tiba - tiba isi ruangan itu bertambah satu sosok lagi, seorang gadis remaja, dengan ekspresi kelelahan dan titik - titik keringat di wajahnya, rupanya sejak tadi dia berlari ke tempat itu.
" Sudahlah, bu ! kasihan mereka ! sebaiknya ibu beri mereka waktu lagi ! " kata gadis itu dengan ngos - ngosan. Kemarahan Nyonya Lina yang sudah mereda, kembali meledak. " Mengapa kamu bisa berkata seperti itu, Bimbi ? ooh, rupanya Armin telah berhasil mengambil hatimu, ya ? ", Nyonya Lina memandang sinis Armin, yang tidak bisa menahan kekesalan hatinya lewat sorot matanya, sedangkan Bimbi hanya tersipu tidak karuan, " Bukannya begitu, bu ! ini sebenarnya karena perikemanusiaan saja ! ".
Cukup lama juga, Bimbi harus merayu ibunya agar mau memberikan kesempatan lagi kepada Armin dan ibunya, dan akhirnya karena bosan terus dihujani dengan kata - kata mengiba dari mulut anaknya, Nyonya Lina mengabulkan permintaannya, " Yah, sudahlah ! lain kali, aku datang lagi kemari, kau harus membayar semua utangmu ! " kata Nyonya Lina, kesalnya bukan main. Lalu mereka berdua, Nyonya Lina dan Bimbi, pergi begitu saja, ditemani oleh tatapan mata Armin yang sekali lagi bebas dari cengkeraman Nyonya Lina.
***
Roda waktu yang juga harus terus menjalani takdirnya, kembali mengalirkan sang Mentari ke ufuk barat. Sehingga senja, yang lagi - lagi harus luruh di belahan bumi ini, dirasakan Armin sebagai sebuah kesetiaan yang abadi, mungkin melebihi kesepian dan kebimbangan yang dirasakannya sepanjang waktu. Sosok Bimbi yang remaja, dalam langkah ragu dan wajah yang tersipu, menghampiri Armin. " Apa yang sedang kau pikirkan ? " ucapnya saat dia duduk di samping Armin, memandangi matahari tenggelam. Armin seperti tidak sadar berkata " Ibuku ! " dalam kesunyiannya. " Rupanya kau sedang mengkhawatirkan beliau, ya ? ", Bimbi mengharapkan kehangatan Armin. " Ah, tidak ! " sahut Armin masih tetap dingin.
" Lalu apa yang kau pikirkan ? ", mau tak mau akhirnya Armin memandangi wajah polos Bimbi yang sejak tadi enggan dilakukannya, " Kalau kau sudah tahu, nanti akhirnya pasti kau malah berharap tidak tahu ! ". Bimbi malah semakin penasaran, " Memangnya kenapa ? ".
" Aku ingin beliau segera mati ! ",
Bimbi terperanjat, " Apa ! mengapa ? ", mata Bimbi terbelalak tak percaya. Wajah Armin berubah jadi frustasi, " Aku bosan, setiap saat harus selalu berbohong bahwa aku akan terus berbakti kepadanya, terus berada di sampingnya. Padahal kenyataannya aku ingin bebas, aku ingin menjalani takdirku tanpa beban ! ".
Bimbi benar - benar tidak mempercayai apa yang didengar oleh telinganya, selama ini dia menyangka Armin adalah pria lembut yang sangat mengasihi dan menyayangi ibunya yang sakit - sakitan itu, dia tidak mengetahui perasaan Armin yang terpendam atau disembunyikan di lubuk hati yang terdalam.
" Mengapa tidak kau bunuh saja beliau ? ", kata - kata dari mulut Bimbi terlontar tiba - tiba, tanpa disadarinya. Tatapannya terpaku pada wajah muram Armin, mencoba menebak pikirannya yang berkecamuk dalam otaknya yang mungkin pernah terbentur terlalu keras sehingga rusak dan perlu direparasi. Akhirnya suara Armin menjelma dari desah lelah tanpa penyesalan, " Ya, aku memang pernah memikirkannya ! ". " Apa ! " teriak Bimbi semakin tidak percaya. " Tetapi aku sendiri tidak yakin, itu adalah keputusan tepat sehingga aku urungkan ! ".
" Kau memang anak durhaka ! ",
" Anak durhaka katamu !, apa buktinya ! aku tidak pernah meninggalkan beliau, aku selalu ada disaat beliau membutuhkanku, aku juga telah mengorbankan seluruh kepentinganku demi beliau, sekarang kau sebut aku anak durhaka ! lalu apa arti pengabdianku selama ini ? ",
Bimbi tidak tahu harus berkata apa lagi untuk meluruskan pola pikir Armin yang keliru, karena dia sendiri tidak mampu memahami dan tidak mengalami konflik batin yang sedang bergejolak di hati Armin, " Kau benar - benar sudah keterlaluan, Armin ! ", akhirnya dia hanya bisa berkata seperti itu, dan pergi meninggalkan Armin seorang diri, kembali menatap ujung dunia yang perlahan - lahan melahap matahari dan menyemburkan semburat merah bagai darah sang Surya, ke langit dan awan. Armin pun masih belum beranjak dari tempatnya, saat ujung dunia itu selesai menelan habis sang Surya, dan semburat merah luntur menjadi hitam.
Hati kecilnya percaya, bahwa udara dingin ini tidak lebih menusuk daripada rasa sepi dan bimbang yang dirasakannya selama ini, dan bulan purnama maupun kerlap - kerlip bintang tidak lebih menghibur daripada harapan akan kebebasannya.
***
" Apakah kau Nyonya Lina ? " Suara lemah Mae, ibu Armin, menyinggahi telinga Nyonya Lina, " Tentu saja, siapa lagi yang sudi mengunjungi kalian ? ", sahut Nyonya Lina, sama sekali tidak terdengar lembut. Mendengarnya, Mae hanya berbisik " Terima kasih atas kebaikan hati Nyonya ! ", lalu tersenyum walaupun tak tampak tersenyum, lebih mirip ekspresi menahan sakit.
Nyonya Lina membuang mukanya, mengalihkan pandangannya dari wajah Mae yang terlihat menderita ke wajah Armin yang terlihat lebih tegar, " Aku harap kali ini kalian tidak lupa melunasi hutang kalian ! ". Armin membuka mulutnya untuk mengeluarkan irama mengiba, berharap kali ini mereka juga memiliki keberuntungan sehingga hati Nyonya Lina kembali melunak, walaupun kemungkinannya kecil sekali. Namun suaranya tertahan di tenggorokan karena ada suara lain, suara ibunya. " Armin ! tolong, tinggalkan kami berdua, biarkan ibu yang bicara dengan Nyonya Lina ! ". Armin meninggalkan ruangan itu dengan ragu - ragu setelah tatapan matanya yang penuh tanya tidak digubris ibunya.
" Ah, pokoknya sudah tidak ada kompromi lagi ! kau hanya akan membuang - buang napasmu saja ! ", Nyonya Lina benar - benar bosan dan sebal. Mae memiringkan tubuhnya, meraih laci di samping tempat tidurnya, lalu mengambil kotak berukuran sedang dari dalamnya, " Bagaimana dengan ini ? " kata Mae, seraya menyerahkan kotak itu kepada Nyonya Lina. Dengan ragu - ragu, bertanya - tanya, dan perlahan - lahan, Nyonya Lina menyambut kotak itu, dan membukanya. Seketika itu juga, dia terkejut bukan main, jantungnya seakan mau copot, tubuhnya merinding, dan matanya terbelalak menatap tak percaya isi kotak itu. Emas dalam berbagai rupa, seperti kalung, cincin, dan anting - anting, serta dalam jumlah yang banyak sekali.
" Bagaimana kau dapatkan semua ini ? jangan - jangan Armin telah merampok toko emas ! aku tidak mau ikut dapat masalah ! ", Nyonya Lina menyodorkan kembali kotak itu, meski masih menatap tak percaya pada apa yang ada di sudut penglihatannya. " Bukan begitu, ini adalah warisan dari suamiku, ayahnya Armin. Selama ini, aku berbohong kepada Armin bahwa ayahnya tidak meninggalkan apapun, karena aku tahu kebohongan Armin selama ini. Dia pasti akan meninggalkanku kalau aku hidup enak. Dia pasti akan meninggalkanku jika dia merasa aku bisa hidup tanpanya. Padahal tak akan pernah seperti itu !. Sejak ayahnya meninggal, aku tidak mau lagi kehilangan orang yang aku sayangi ! ". Mae memaksakan mulutnya untuk berbicara diantara napasnya yang terengah - engah, walaupun kelihatannya Nyonya Lina tidak menganggapnya penting, " Waduh ! kenapa kamu malah curhat begini ! aku tidak peduli dengan kehidupanmu ! tapi kamu sudah membayar semua hutangmu, bahkan mungkin lebih, jadi terima kasih ! ".
Nyonya Lina menggerakkan tubuhnya untuk meninggalkan ruangan itu, namun tangannya tertahan oleh cengkeraman Mae, " Tunggu sebentar ! aku ingin kau berjanji untuk merahasiakan semua ini, dan membiarkan Armin hidup dengan tenang ! ". Atmosfir kembali mencekam, saat Nyonya Lina menarik tangannya dari cengkeraman Mae, dan membentaknya dengan geram " Sudah kubilang aku tidak peduli dengan kehidupan kalian ! dan sekarang kau minta aku untuk jadi penipu seperti kalian ! bodoh jika aku sudi melakukannya ! ". Tanpa belas kasihan, Nyonya Lina meninggalkan Mae, tenggelam dalam air matanya yang terakhir.
***
" Berpura - puralah agar terlihat sedih di hadapan makam ibumu, Armin ! seperti yang selalu kau lakukan di hadapan ibumu ketika beliau masih hidup ! ", suara Bimbi menyeruak diantara desau angin kedukaan. Namun Armin seperti tak mendengar perkataannya sama sekali, " Akhirnya aku bebas, aku bisa kemanapun yang aku mau, tanpa harus terbebani oleh ibuku sendiri ! ". Masih terbalut oleh kecintaannya pada Armin, Bimbi berucap lirih, " Aku masih tak percaya, ternyata seperti inilah wajah aslimu, Armin ! ". Air matanya pun tak tertampung lagi, saat dia menyerahkan tubuhnya ke dalam pelukan ibunya, dan Nyonya Lina tak kuasa menahan tangannya untuk mengelus rambut anaknya, " Percayalah anakku ! wajah aslinya lebih buruk dari yang kau kira ... begitu juga wajah asli ibunya ! ".
Dari matanya yang terlihat bergetar, Armin tidak bisa menutupi kebingungannya terhadap perkataan Nyonya Lina. " Dengarkan aku, Armin ! aku tahu kau menganggap aku orang yang jahat dan aku tidak pernah mempermasalahkan hal itu, tapi aku hanya ingin kau percaya bahwa kau sebenarnya adalah korban ! ", suaranya sudah dibuat agar lebih meyakinkan, walau masih terdengar kaku. Armin berpaling dari makam ibunya, menatap penuh tanya ke wajah Nyonya Lina yang bingung harus menampakkan ekspresi seperti apa, " Ya ! aku sudah tahu apa yang sebenarnya telah terjadi, kau membohongi ibumu tentang isi hatimu yang sesungguhnya, bahwa kau akan selalu menjaganya padahal kau enggan melakukannya dan jika ada kesempatan, kau pasti akan meninggalkannya, sedangkan ibumu ... dia tahu semua itu dan bahkan, dia juga telah membohongimu tentang harta warisan ayahmu, yang seluruhnya telah dia simpan dalam bentuk emas ... semua itu dia lakukan agar kau tidak meninggalkan dirinya !  menurutku, dengan alasan yang mungkin sulit kau pahami itu, membuat kebohongannya mungkin lebih baik darimu ! ".
Efek dari suasana yang sangat mendukung serta dramatisasi sikap dan kata - kata Nyonya Lina, benar - benar tepat mengenai hati Armin. Kejiwaannya yang sejak dulu rapuh, jadi tergoncang. Dia seperti tidak berada di sekitar makam ibunya dimana tubuhnya sebenarnya berada, bahkan dia merasa tidak memiliki tubuh lagi. Pikirannya melayang menembus ruang dan waktu, berkelana dalam kenangan dia dan ibunya. semua gerak dan kata - katanya kembali terulang dalam benaknya.
" Armin ! Armin ! kau mendengarkanku atau tidak ? ", memang menyebalkan jika kau merasa yakin bahwa dirimu telah menguasai suasana dengan kata - katamu tetapi ternyata sebaliknya, lawan bicaramu malah melamun. Perasaan jengkel seperti itulah yang melanda Nyonya Lina, Bimbi menepuk pundak ibunya, menenangkannya, " Sudahlah, bu ! mungkin kini sudah saatnya kita untuk meninggalkannya sendirian di sini ! ". Mereka kemudian pergi tanpa menoleh lagi kearah Armin, demikian juga orang - orang yang menghadiri pemakaman itu, satu persatu pergi meninggalkannya.
Sedangkan Armin sendiri, masih terbelenggu dalam kenangan antara dia dan ibunya. Lama - lama, kedua kakinya tidak sanggup lagi menopang segala emosi yang dirasakannya, diapun jatuh tersungkur di hadapan makam ibunya.  Dan air matanya ... entah kenapa air matanya jatuh berguguran menggenangi pemakaman itu, sesuatu yang dia sendiri pun tidak memahami. Dia kebingungan, sangat kebingungan. Sejenak, setelah menyadari apalah arti kebebasan itu, tanpa ada ibunya di sisinya ... setelah menyadari bahwa dia tidak punya tujuan untuk pergi, dia memang tidak pernah memikirkan tujuan, dia bahkan tidak bisa pergi kemanapun karena sejak kecil, dia hanya anak mami yang selalu bergantung pada ibunya ... dan setelah menyadari sudah terlambat untuk menyesal, barulah dia merasa kehilangan.
Tiba - tiba tanpa perintah alam sadarnya, dia memeluk nisan ibunya dengan sangat erat, bahkan mungkin diapun terkejut dengan apa yang dilakukannya. " Ibu ! " jeritnya, ada perasaan sedih yang menusuknya, bukan ! ... ini lebih merobek hati daripada sekedar sedih. " Ibu ! maafkanlah aku, ibu ! aku baru sadar aku tidak bisa pergi kemanapun, ternyata benar yang kukatakan aku tak punya kehidupan selain di sisi ibu ! sekarang aku bersumpah ... aku akan di sini selamanya ! selamanya aku akan menjaga ibu ! ... ibu ! apakah kau dengar ? ".
Begitulah, selama berhari - hari, berbulan - bulan, bahkan bertahun - tahun, dia berteriak - teriak seperti itu. Kadang - kadang orang - orang melihatnya menangis, kadang - kadang tertawa, lain waktu dia menangis dalam tawa, dan diwaktu yang berbeda, dia tertawa dalam tangis. Mungkin benar yang dikatakan orang bahwa dia memang sudah gila, tapi ... entahlah, lagi pula dia tidak akan berkata dengan jujur  bahwa dia sudah gila.
Oleh: M. S. Nashrullah
              

2 komentar:

  1. sip banget cerpen x,menarik...

    BalasHapus
  2. Here you can sell and buy both new and used products.
    This website is perfect for selling just about anything at all.

    BalasHapus