"
Ini tehnya, bu ! " kata Armin, saat dia menghampiri ibunya yang sedang
terbaring lemah di atas tempat tidurnya. " Terima kasih, anakku. Kau
memang anak yang baik. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jadinya aku tanpa
dirimu, anakku ! ". Armin mencoba melepas rasa lelah lewat desah napasnya,
" Sudah berapa kali harus saya katakan, ibu jangan berkata seperti itu !
ibu jangan pernah membayangkan saya meninggalkan ibu, itu takkan terjadi, karena saya tak punya kehidupan selain di sisi
ibu. Percayalah ! saya tak akan pernah meninggalkan ibu ! lagi
pula saya memang harus ada di sini untuk menjaga ibu, kan ? ". Sebaris
senyum terlukis di wajah Armin, namun segera ditelan oleh kemuraman hatinya
saat dia duduk di tepian ranjang ibunya, " Saya masih belum bisa memahami,
mengapa kita bisa berakhir di gubuk reot ini ", dia memandangi langit -
langit kamar ibunya dimana seekor lalat sedang terperangkap di dalam sarang
laba - laba. " Dulu saya pikir ayah punya segalanya, tapi sekarang
... ternyata beginilah keadaannya
".
Tiba
- tiba terdengar bunyi ketukan dari pintu depan, Armin pun bergegas membukakan
pintu itu.
"
Seperti yang saya duga sebelumnya, pastilah Anda yang datang, Nyonya Lina !
saya baru saja memikirkan anda ". Seraut wajah wanita paruh baya menyembul
dari balik pintu itu, " Pikirkan juga hutangmu padaku, kau bisa saja
membuatku rugi ! " bentaknya, tetapi air mukanya yang penuh dengan amarah
segera berubah, sikapnya pun jadi aneh, dia celingak - celinguk ke sana kemari seperti
memastikan sesuatu.
Dia
mendorong Armin masuk ke dalam rumah dengan kasar, " Untung saja tidak ada
yang dengar, kalau ada, bisa gawat ! semua orang mengira aku menolong kalian
karena kemurahan hatiku ! " gerutunya sambil melotot memandang Armin.
" Maaf, jika saya lancang, Nyonya ! tapi saya mohon berbaik hatilah
sedikit, kami belum bisa membayarnya sekarang, apalagi saat ini ibu saya sedang
sakit ! ". Nyonya Lina semakin geram, " Persetan dengan ibumu ! dia
adalah urusanmu, sedangkan urusanku hanyalah mengenai hutangmu itu ! kau mau
bayar sekarang atau pergi dari tempat ini ! ". Tetapi dia sendiri terlihat
ragu saat dia melayangkan pandangannya di ruangan itu, " Ah, kelihatannya
rumahmu ini pun belum bisa melunasi semua hutangmu padaku, jadi rupanya urusan
kita tidak akan cepat selesai ! ".
Wajah
Armin sedari tadi menampakkan ekspresi yang tidak jelas, entah kemarahan, atau
kedukaan, atau mungkin juga kebingungan, karena dia tak bisa lagi menemukan
kosakata yang tepat untuk meluluhkan hati Nyonya Lina, dia sudah mati langkah.
Namun tiba - tiba isi ruangan itu bertambah satu sosok lagi, seorang gadis
remaja, dengan ekspresi kelelahan dan titik - titik keringat di wajahnya,
rupanya sejak tadi dia berlari ke tempat itu.
"
Sudahlah, bu ! kasihan mereka ! sebaiknya ibu beri mereka waktu lagi ! "
kata gadis itu dengan ngos - ngosan. Kemarahan Nyonya Lina yang sudah mereda,
kembali meledak. " Mengapa kamu bisa berkata seperti itu, Bimbi ? ooh,
rupanya Armin telah berhasil mengambil hatimu, ya ? ", Nyonya Lina memandang
sinis Armin, yang tidak bisa menahan kekesalan hatinya lewat sorot matanya,
sedangkan Bimbi hanya tersipu tidak karuan, " Bukannya begitu, bu ! ini
sebenarnya karena perikemanusiaan saja ! ".
Cukup
lama juga, Bimbi harus merayu ibunya agar mau memberikan kesempatan lagi kepada
Armin dan ibunya, dan akhirnya karena bosan terus dihujani dengan kata - kata
mengiba dari mulut anaknya, Nyonya Lina mengabulkan permintaannya, " Yah,
sudahlah ! lain kali, aku datang lagi kemari, kau harus membayar semua utangmu
! " kata Nyonya Lina, kesalnya bukan main. Lalu mereka berdua, Nyonya Lina
dan Bimbi, pergi begitu saja, ditemani oleh tatapan mata Armin yang sekali lagi
bebas dari cengkeraman Nyonya Lina.
***
Roda
waktu yang juga harus terus menjalani takdirnya, kembali mengalirkan sang
Mentari ke ufuk barat. Sehingga senja, yang lagi - lagi harus luruh di belahan
bumi ini, dirasakan Armin sebagai sebuah kesetiaan yang abadi, mungkin melebihi
kesepian dan kebimbangan yang dirasakannya sepanjang waktu. Sosok Bimbi yang
remaja, dalam langkah ragu dan wajah yang tersipu, menghampiri Armin. "
Apa yang sedang kau pikirkan ? " ucapnya saat dia duduk di samping Armin,
memandangi matahari tenggelam. Armin seperti tidak sadar berkata " Ibuku ! " dalam kesunyiannya.
" Rupanya kau sedang mengkhawatirkan beliau, ya ? ", Bimbi
mengharapkan kehangatan Armin. " Ah, tidak ! " sahut Armin masih
tetap dingin.
"
Lalu apa yang kau pikirkan ? ", mau tak mau akhirnya Armin memandangi
wajah polos Bimbi yang sejak tadi enggan dilakukannya, " Kalau kau sudah
tahu, nanti akhirnya pasti kau malah berharap tidak tahu ! ". Bimbi malah
semakin penasaran, " Memangnya kenapa ? ".
"
Aku ingin beliau segera mati ! ",
Bimbi
terperanjat, " Apa ! mengapa ? ", mata Bimbi terbelalak tak
percaya. Wajah Armin berubah jadi frustasi, " Aku bosan, setiap saat harus
selalu berbohong bahwa aku akan terus berbakti kepadanya, terus berada di
sampingnya. Padahal kenyataannya aku ingin bebas, aku ingin menjalani takdirku
tanpa beban ! ".
Bimbi
benar - benar tidak mempercayai apa yang didengar oleh telinganya, selama ini
dia menyangka Armin adalah pria lembut yang sangat mengasihi dan menyayangi
ibunya yang sakit - sakitan itu, dia tidak mengetahui perasaan Armin yang
terpendam atau disembunyikan di lubuk hati yang terdalam.
"
Mengapa tidak kau bunuh saja beliau ? ", kata - kata dari mulut Bimbi
terlontar tiba - tiba, tanpa disadarinya. Tatapannya terpaku pada wajah muram
Armin, mencoba menebak pikirannya yang berkecamuk dalam otaknya yang mungkin
pernah terbentur terlalu keras sehingga rusak dan perlu direparasi. Akhirnya
suara Armin menjelma dari desah lelah tanpa penyesalan, " Ya, aku memang
pernah memikirkannya ! ". " Apa
! " teriak Bimbi semakin tidak percaya. " Tetapi aku sendiri tidak
yakin, itu adalah keputusan tepat sehingga aku urungkan ! ".
"
Kau memang anak durhaka ! ",
"
Anak durhaka katamu !, apa buktinya ! aku tidak pernah
meninggalkan beliau, aku selalu ada disaat beliau membutuhkanku, aku juga telah
mengorbankan seluruh kepentinganku demi beliau, sekarang kau sebut aku anak
durhaka ! lalu apa arti pengabdianku selama ini ? ",
Bimbi
tidak tahu harus berkata apa lagi untuk meluruskan pola pikir Armin yang
keliru, karena dia sendiri tidak mampu memahami dan tidak mengalami konflik
batin yang sedang bergejolak di hati Armin, " Kau benar - benar sudah keterlaluan,
Armin ! ", akhirnya dia hanya bisa berkata seperti itu, dan pergi
meninggalkan Armin seorang diri, kembali menatap ujung dunia yang perlahan -
lahan melahap matahari dan menyemburkan semburat merah bagai darah sang Surya,
ke langit dan awan. Armin pun masih belum beranjak dari tempatnya, saat ujung
dunia itu selesai menelan habis sang Surya, dan semburat merah luntur menjadi
hitam.
Hati
kecilnya percaya, bahwa udara dingin ini tidak lebih menusuk daripada rasa sepi
dan bimbang yang dirasakannya selama ini, dan bulan purnama maupun kerlap -
kerlip bintang tidak lebih menghibur daripada harapan akan kebebasannya.
***
"
Apakah kau Nyonya Lina ? " Suara lemah Mae, ibu Armin, menyinggahi telinga
Nyonya Lina, " Tentu saja, siapa lagi yang sudi mengunjungi kalian ?
", sahut Nyonya Lina, sama sekali tidak terdengar lembut. Mendengarnya,
Mae hanya berbisik " Terima kasih atas kebaikan hati Nyonya ! ", lalu
tersenyum walaupun tak tampak tersenyum, lebih mirip ekspresi menahan sakit.
Nyonya
Lina membuang mukanya, mengalihkan pandangannya dari wajah Mae yang terlihat
menderita ke wajah Armin yang terlihat lebih tegar, " Aku harap kali ini
kalian tidak lupa melunasi hutang kalian ! ". Armin membuka mulutnya untuk
mengeluarkan irama mengiba, berharap kali ini mereka juga memiliki
keberuntungan sehingga hati Nyonya Lina kembali melunak, walaupun
kemungkinannya kecil sekali. Namun suaranya tertahan di tenggorokan karena ada
suara lain, suara ibunya. " Armin ! tolong, tinggalkan kami berdua,
biarkan ibu yang bicara dengan Nyonya Lina ! ". Armin meninggalkan ruangan
itu dengan ragu - ragu setelah tatapan matanya yang penuh tanya tidak digubris
ibunya.
"
Ah, pokoknya sudah tidak ada kompromi lagi ! kau hanya akan
membuang - buang napasmu saja ! ", Nyonya Lina benar - benar bosan dan
sebal. Mae memiringkan tubuhnya, meraih laci di samping tempat tidurnya, lalu
mengambil kotak berukuran sedang dari dalamnya, " Bagaimana dengan ini ?
" kata Mae, seraya menyerahkan kotak itu kepada Nyonya Lina. Dengan ragu -
ragu, bertanya - tanya, dan perlahan - lahan, Nyonya Lina menyambut kotak itu,
dan membukanya. Seketika itu juga, dia terkejut bukan main, jantungnya seakan
mau copot, tubuhnya merinding, dan matanya terbelalak menatap tak percaya isi
kotak itu. Emas dalam berbagai rupa, seperti kalung, cincin, dan anting
- anting, serta dalam jumlah yang banyak sekali.
"
Bagaimana kau dapatkan semua ini ? jangan - jangan Armin telah merampok
toko emas ! aku tidak mau ikut dapat masalah ! ", Nyonya Lina menyodorkan
kembali kotak itu, meski masih menatap tak percaya pada apa yang ada di sudut
penglihatannya. " Bukan begitu, ini adalah warisan dari suamiku, ayahnya
Armin. Selama ini, aku berbohong
kepada Armin bahwa ayahnya tidak meninggalkan apapun, karena aku tahu kebohongan Armin selama ini. Dia pasti
akan meninggalkanku kalau aku hidup enak. Dia pasti akan meninggalkanku jika
dia merasa aku bisa hidup tanpanya. Padahal tak akan pernah seperti itu !.
Sejak ayahnya meninggal, aku tidak mau lagi kehilangan orang yang aku
sayangi ! ". Mae memaksakan mulutnya untuk berbicara diantara napasnya
yang terengah - engah, walaupun kelihatannya Nyonya Lina tidak menganggapnya
penting, " Waduh ! kenapa kamu malah curhat begini ! aku tidak
peduli dengan kehidupanmu ! tapi kamu sudah membayar semua hutangmu, bahkan
mungkin lebih, jadi terima kasih ! ".
Nyonya
Lina menggerakkan tubuhnya untuk meninggalkan ruangan itu, namun tangannya
tertahan oleh cengkeraman Mae, " Tunggu sebentar ! aku ingin kau
berjanji untuk merahasiakan semua ini, dan membiarkan Armin hidup dengan tenang
! ". Atmosfir kembali mencekam, saat Nyonya Lina menarik tangannya dari
cengkeraman Mae, dan membentaknya dengan geram " Sudah kubilang aku
tidak peduli dengan kehidupan kalian ! dan sekarang kau minta aku untuk
jadi penipu seperti kalian ! bodoh jika aku sudi melakukannya ! ".
Tanpa belas kasihan, Nyonya Lina meninggalkan Mae, tenggelam dalam air matanya yang
terakhir.
***
"
Berpura - puralah agar terlihat sedih di hadapan makam ibumu, Armin ! seperti
yang selalu kau lakukan di hadapan ibumu ketika beliau masih hidup ! ",
suara Bimbi menyeruak diantara desau angin kedukaan. Namun Armin seperti tak
mendengar perkataannya sama sekali, " Akhirnya aku bebas, aku bisa
kemanapun yang aku mau, tanpa harus terbebani oleh ibuku sendiri ! ".
Masih terbalut oleh kecintaannya pada Armin, Bimbi berucap lirih, " Aku
masih tak percaya, ternyata seperti inilah wajah aslimu, Armin ! ". Air
matanya pun tak tertampung lagi, saat dia menyerahkan tubuhnya ke dalam pelukan
ibunya, dan Nyonya Lina tak kuasa menahan tangannya untuk mengelus rambut
anaknya, " Percayalah anakku ! wajah aslinya lebih buruk dari yang kau
kira ... begitu juga wajah asli ibunya ! ".
Dari
matanya yang terlihat bergetar, Armin tidak bisa menutupi kebingungannya
terhadap perkataan Nyonya Lina. " Dengarkan aku, Armin ! aku tahu kau
menganggap aku orang yang jahat dan aku tidak pernah mempermasalahkan hal itu,
tapi aku hanya ingin kau percaya bahwa kau sebenarnya adalah korban !
", suaranya sudah dibuat agar lebih meyakinkan, walau masih terdengar
kaku. Armin berpaling dari makam ibunya, menatap penuh tanya ke wajah Nyonya
Lina yang bingung harus menampakkan ekspresi seperti apa, " Ya ! aku sudah
tahu apa yang sebenarnya telah terjadi, kau membohongi ibumu tentang isi hatimu
yang sesungguhnya, bahwa kau akan selalu menjaganya padahal kau enggan
melakukannya dan jika ada kesempatan, kau pasti akan meninggalkannya, sedangkan
ibumu ... dia tahu semua itu dan bahkan, dia juga telah membohongimu tentang harta
warisan ayahmu, yang seluruhnya telah dia simpan dalam bentuk emas ... semua
itu dia lakukan agar kau tidak meninggalkan dirinya ! menurutku, dengan alasan yang mungkin sulit
kau pahami itu, membuat kebohongannya mungkin lebih baik darimu ! ".
Efek
dari suasana yang sangat mendukung serta dramatisasi sikap dan kata - kata
Nyonya Lina, benar - benar tepat mengenai hati Armin. Kejiwaannya yang sejak
dulu rapuh, jadi tergoncang. Dia seperti tidak berada di sekitar makam ibunya
dimana tubuhnya sebenarnya berada, bahkan dia merasa tidak memiliki tubuh lagi.
Pikirannya melayang menembus ruang dan waktu, berkelana dalam kenangan dia dan
ibunya. semua gerak dan kata - katanya kembali terulang dalam benaknya.
"
Armin ! Armin ! kau mendengarkanku atau tidak ? ", memang
menyebalkan jika kau merasa yakin bahwa dirimu telah menguasai suasana dengan
kata - katamu tetapi ternyata sebaliknya, lawan bicaramu malah melamun.
Perasaan jengkel seperti itulah yang melanda Nyonya Lina, Bimbi menepuk pundak
ibunya, menenangkannya, " Sudahlah, bu ! mungkin kini sudah saatnya kita
untuk meninggalkannya sendirian di sini ! ". Mereka kemudian pergi tanpa
menoleh lagi kearah Armin, demikian juga orang - orang yang menghadiri
pemakaman itu, satu persatu pergi meninggalkannya.
Sedangkan
Armin sendiri, masih terbelenggu dalam kenangan antara dia dan ibunya. Lama -
lama, kedua kakinya tidak sanggup lagi menopang segala emosi yang dirasakannya,
diapun jatuh tersungkur di hadapan makam ibunya. Dan air matanya ... entah kenapa air matanya jatuh
berguguran menggenangi pemakaman itu, sesuatu yang dia sendiri pun tidak
memahami. Dia kebingungan, sangat kebingungan. Sejenak, setelah menyadari
apalah arti kebebasan itu, tanpa ada ibunya di sisinya ... setelah menyadari
bahwa dia tidak punya tujuan untuk pergi, dia memang tidak pernah memikirkan
tujuan, dia bahkan tidak bisa pergi kemanapun karena sejak kecil, dia hanya
anak mami yang selalu bergantung pada ibunya ... dan setelah menyadari sudah
terlambat untuk menyesal, barulah dia merasa kehilangan.
Tiba
- tiba tanpa perintah alam sadarnya, dia memeluk nisan ibunya dengan sangat
erat, bahkan mungkin diapun terkejut dengan apa yang dilakukannya. " Ibu
! " jeritnya, ada perasaan sedih yang menusuknya, bukan ! ... ini
lebih merobek hati daripada sekedar sedih. " Ibu ! maafkanlah aku,
ibu ! aku baru sadar aku tidak bisa pergi kemanapun, ternyata benar yang
kukatakan aku tak punya kehidupan selain di sisi ibu ! sekarang aku bersumpah
... aku akan di sini selamanya ! selamanya aku akan menjaga ibu !
... ibu ! apakah kau dengar ? ".
Begitulah,
selama berhari - hari, berbulan - bulan, bahkan bertahun - tahun, dia berteriak
- teriak seperti itu. Kadang - kadang orang - orang melihatnya menangis, kadang
- kadang tertawa, lain waktu dia menangis dalam tawa, dan diwaktu yang berbeda,
dia tertawa dalam tangis. Mungkin benar yang dikatakan orang bahwa dia memang
sudah gila, tapi ... entahlah, lagi pula dia tidak akan berkata dengan jujur bahwa dia sudah gila.
Oleh: M.
S. Nashrullah
sip banget cerpen x,menarik...
BalasHapusHere you can sell and buy both new and used products.
BalasHapusThis website is perfect for selling just about anything at all.