Sponsor

Rabu, 19 Januari 2011

PERKARA MAUT


Ini semua salah ayah ! “, teriakan itu bergaung menembus kabut tipis yang menyelimuti pagi yang berawan, sehingga sinar matahari yang hangat tak sanggup mengusik seorang Hasta Sauri yang tegak berdiri di hadapan sebuah rumah. Dengan kedua belah tangannya, dia mengangkat mayat ibundanya yang tercinta. Keringat dan air matanya yang bercampur, mengalir jatuh ... berkilauan, serupa dengan kilau embun yang singgah di daun yang kering pada musim kemarau.
Lihatlah apa yang kau lakukan pada ibuku ! “ jeritnya, diangkatnya tubuh ibunya lebih tinggi lagi, didekapnya erat – erat, seakan - akan tidak ingin menyerahkannya pada maut. Tetapi ayahnya yang berada dalam rumah itu, tetap membentengi dirinya dengan kesunyian.
Wajah - wajah suram bermunculan, menyeruak dari dalam kabut. Dengan sorot mata yang tak bersahabat, mulut mereka komat kamit, berbisik – bisik dengan suara yang tidak pelan, sedangkan Hasta sudah tak peduli lagi dengan segalanya.
Dengan terisak – isak, Hasta memutar tubuhnya, menghadapi wajah – wajah sinis yang mengerumuninya, berharap mata mereka memandang  ibunya dengan rasa hormat, namun mata mereka terus saja menatap luka yang melintang di pergelangan tangan ibunya, yang merobek nadinya, dan mengalirkan darah yang kini telah mengering.
Hasta menundukkan kepalanya di hadapan wajah – wajah itu, membiarkan tatapan mata mereka merobek hatinya. Kedua kakinya yang tegar melangkah membelah kerumunan itu, membelah bayangan mereka, namun tak mampu membelah tatapan mata mereka yang terus mengiringinya menyusuri ufuk barat.
***
Awan mendung, pada senja kali ini, menaungi suasana hati yang muram. Kala warna merah di langit, menyampaikan ucapan selamat tinggal dari matahari dan menyampaikan kekalahannya pada sang malam, Hasta masih saja termenung di hadapan makam ibundanya.
Dia membelai nisan makam itu, berpikir ibunya kini telah tiada. Jelas dia cemburu dengan keadaan itu, kenapa bukan dia saja yang terbaring dalam liang lahat itu, sehingga dia tak perlu direpotkan dengan rasa sakit ini.
Ingin sekali dia menanyakan pada ibunya, kenapa dia melakukan hal itu, kenapa dia sampai hati menyayat nadinya tanpa mempedulikan keberadaan kedua anaknya, Hasta dan Milly. Mungkinkah ini salah ayahnya, yang begitu tega menceraikan ibunya.
Dia teringat pada hari yang naas itu. Waktu itu, sama seperti saat ini. Ketika sayap - sayap sang senja terbentang menyambut datangnya sang malam yang agung. Kedua orang tuanya baru datang dari suatu tempat, namun kelihatannya bukan tempat yang menyenangkan. Ibunya menangis, dan berlari menaiki tangga, lalu menabrak Hasta yang baru mau turun. Firasat buruk menghampirinya, ibunya tertunduk dan kelihatan begitu kesakitan karena air matanya, seolah – olah yang menghambur keluar itu adalah darahnya.
Hasta, dengan perlahan, melangkah menuju puncak tangga di hadapannya. Dilihatnya wajah ayahnya saat itu, yang sedang menenangkan Milly, yang menangis karena melihat ibunya menangis. “ Kenapa ? “, ucap Hasta lirih. Dia tahu kemana semua air mata ini bermuara, diapun sudah mendapatkan pertanda bahwa semua ini akan terjadi. Tetapi, dengan wajah yang muram, ayahnya berkata, “ Kau takkan mengerti ! Kau masih terlalu muda untuk mengerti masalah ini ! “, suara ayahnya bergema bagaikan keluar dari gua yang sangat gelap.
Terlalu muda, katanya ! menurut Hasta, ayahnyalah yang bersikap kekanak – kanakan. Begitu mudah menyerah pada cobaan dan mengambil keputusan tanpa mempedulikan kehadiran kedua anaknya. Itu adalah sikap pengecut yang berpikiran picik.
Ayahnya berusaha melihat ekspresi wajah anaknya, tetapi saat itu kegelapan menutupinya, walaupun dilihatnya, tubuh Hasta agak bergetar, namun ayahnya belum mampu menyerapi kehancuran hati Hasta. Dia hanya terdiam dan memeluk Milly yang masih menangis.
Kasihan ibunya. Sejak saat itu, ibunya yang sangat cantik itu, jadi sangat rapuh dan menderita.
Pada malam yang gelap, tanpa bimbingan cahaya bulan dan bintang. Hujan turun begitu lebat, seakan – akan ingin menenggelamkan permukaan bumi, malam itu juga. Saat itu, Hasta sudah tak tahan lagi dengan kekerasan hati ayahnya. Dia memutuskan untuk menemani ibunya, yang lebih membutuhkan dirinya dan mungkin lebih menyadari keberadaan anaknya.
Suara tangisan Milly, yang sedih karena ditinggalkan oleh kakaknya, sayup – sayup terdengar, tak mampu dilenyapkan oleh suara gemercik hujan yang lebat itu. Hasta merasa, diantara tetesan air hujan yang dingin, ada juga yang terasa hangat, yang keluar dari matanya.
Sesampainya di rumah ibunya, barulah Hasta tersadar. Semangat yang tadi menggebu – gebu dan membakar kesadarannya, kini hilang tersapu keputusasaan yang merayap menghampirinya. Di sudut matanya yang digenangi air mata, terbaring ibundanya. Matanya hampa dan tak bercahaya, seperti lubang hitam yang menghisap semua kesadarannya.
Hari – hari yang dilalui Hasta, untuk memberinya semangat hidup, berujung kesia – siaan. Dia terpaksa meninggalkannya sebentar, karena keperluan kuliah, lalu cepat – cepat pulang, namun yang tertinggal di rumah itu hanyalah seonggok daging tak bernyawa, dengan mata sayu yang tenggelam oleh air mata.
Kenangan itu kembali mengusik Hasta, dan rasa sakit yang baru saja terlelap, kembali terjaga dan kembali merobek hatinya. Air matanya yang lahir dari rahim kedukaan, pecah ketika menyentuh nisan makam ibunya, yang membisu dalam kesunyian senja.
Hasta... “, sayup – sayup terdengar bisikan yang lirih, entah dari mana datangnya, tiba – tiba menghampiri Hasta, disela – sela ratapannya. “ Hasta... anakku sayang ! “, Hasta tercekat, dia pasti sudah gila, benarkah suara ini adalah suara ibunya. Untuk memastikannya, dia dekatkan telinganya ke makam ibunya, hingga telinganya menyentuh tanah, “ Ibu... Ibu... benarkah itu dirimu ? “, jeritnya. “ Benar, anakku ! aku adalah ibumu ! “, tetapi suara itu tidak berasal dari dalam tanah. Hasta mengangkat kepalanya dan menatap nisan makam itu, yang seperti balas menatapnya. “ Ibu... “, panggil Hasta, lirih.
Hasta... hanya akulah yang mengerti kesedihanmu saat ini, tidak seperti ayahmu yang tidak sudi meringankan penderitaanmu ! “. Hasta menunduk dan perlahan – lahan mengangguk, mengiyakan. “ Ayahmu... harus menerima balasannya ! “. Hasta kembali mengangguk, wajahnya muram. “ Ayahmu itu... dia kejam, maka kita juga harus membalasnya dengan kejam “. Wajahnya bertambah muram, matanya menatap lurus ke arah nisan yang pucat pasi di hadapannya. “ Kamu harus membunuhnya, Hasta ! “.
Seketika, wajah Hasta yang penuh kebencian, berubah menjadi wajah seorang pengecut. “ Ada apa Hasta ? rupanya kemarahanmu itu belum cukup untuk membalas kekejaman ayahmu, ya ? kalau begitu, ingatlah kembali rasa sakit yang kita berdua rasakan. Apa yang terjadi padaku, semuanya adalah kesalahan ayahmu, Hasta, kasihanilah aku, balaskan dendamku padanya ! “.
Hasta...
Bunuh dia...
Bunuh dia...
Bunuh dia !
Hasta pun beranjak dari tempatnya. Akhirnya dia mengerti, bahwa dia harus melanjutkan hidup, namun dengan tujuan yang berbeda. Ayahnya memang harus menerima balasan atas perbuatannya.
Dia melangkah perlahan, menyusuri kegelapan yang tidak lebih gelap daripada jiwanya. Suara ibunya masih terus mengiringi langkahnya. Hasta menoleh ke belakang, menyadari suara itu bukan berasal dari makam ibunya melainkan berasal dari dirinya sendiri.
***
Kipas angin butut di sebuah rumah makan, menderu menyisir rambut Hasta yang tebal dan hitam. Musik yang mengalun saat itupun, sayup – sayup menghampiri telinganya dan mempermainkan perasaannya yang sedang resah. Membunuh ayahnya, bagi dirinya itu bukan pekerjaan yang mudah. Semalaman Hasta tidak bisa tidur, hanya untuk memikirkan bagaimana caranya agar dia bisa melaksanakan niat jahatnya itu. Oleh karena itulah, jika dia mau tidur dengan tenang maka dia harus menyelesaikan masalah ini hari itu juga.
Jemarinya gemetar, mengaduk – aduk makanannya hingga tak karuan lagi bentuknya. Tiba – tiba, dua sosok datang menghampiri Hasta. Mereka duduk di hadapannya, di meja yang sama dengannya. Mereka segera memanggil pelayan dan memesan makanan. Sedangkan Hasta, sedari tadi menunduk memandangi makanannya yang sudah tidak bisa membuatnya berselera untuk makan, hingga kesunyian diantara mereka terasa sudah berlangsung selama berabad – abad, barulah Hasta mengangkat wajahnya.
Maka tampaklah padanya dua wajah yang serupa. Mereka adalah si kembar yang dia panggil untuk menjadi algojo bagi ayahnya. Hasta menggosok – gosokkan kedua tangannya yang gemetaran dan memandangi mereka, seakan – akan matanyalah yang akan berbicara.
“ Jadi bagaimana ? “, salah satu dari pria kembar itu memulai pembicaraan. “ Aku ingin kalian membunuh ayahku ! “,
“ Hanya dia ? “,
“ Tapi tak semudah itu, aku tidak ingin orang – orang sampai menghubungkan pembunuhan ini dengan diriku ! “,
“ Itu pekerjaan yang mudah, lalu bagaimana dengan bayaran kami ? “
“ Berapa pun yang kalian pinta, akan aku berikan. Ayahku orang kaya. Jika pekerjaan kalian berjalan dengan baik, maka aku pasti akan bisa mendapatkan warisan dari ayahku ! “,
Pria satunya, yang selama ini diam saja, memperhatikan mereka berdua, membuka bungkus rokoknya, kemudian menyodorkannya kepada Hasta. Tangan gemetar Hasta meraih salah satu rokok itu, dan dengan pasrah membiarkan rokoknya disulut oleh pria itu.
Pria itu berucap, “ Baru pertama kali menghadapi perkara maut, ya ? “, Hasta menggangguk perlahan. “ Aku ingin memperingatkanmu tentang aturan main dalam perkara ini, “ pria itu memandang wajah Hasta dengan gugup, “ Maut tak pernah berpihak kepada siapapun. Sejak kita dilahirkan, pedangnya telah menghunus kita, siap mencabut nyawa kita. Kita takkan pernah tahu, siapa yang akan celaka jika kita bermain – main dengannya. “ Pria itu menyudahi kata – katanya ketika pelayan datang menghidangkan pesanan mereka, “ Lama sekali ? “ kata saudara kembarnya, jengkel. Pelayan itu hanya berkata tak karuan sebagai jawabannya.
Setelah itu si kembar makan dengan lahap, kesunyian kembali menjelma diantara mereka. Hasta bersandar di kursinya, menikmati rokoknya, dan menutup matanya. Seketika, suara di sekitarnya menghilang, berganti dengan suara lirih yang merayap ke telinganya. “ Kau takkan mundur, kan ? “, Hasta cepat – cepat membuka matanya, dilihatnya asap yang baru saja dihembuskannya, langsung menghilang tertiup kipas angin butut di atas kepalanya. Dia menurunkan pandangannya, menatap si kembar yang sedang makan, kemudian memaksa mulutnya menghabiskan sisa makanannya yang tak karuan lagi bentuknya itu.
***
Hasta berlari dalam koridor yang pucat pasi dan terasa menghimpitnya dengan aroma obat – obatan yang menyengat. Sesekali dia bertemu dengan orang – orang yang berpakaian putih dan terkadang berlarian ke sana kemari dengan panik.
Persis seperti dia saat ini, berlari – lari dengan wajah yang pucat pasi seperti dinding yang menghimpitnya dan perasaan yang diliputi kepanikan seperti orang – orang berpakaian serba putih itu.
 Ketika fajar menggantikan kicau burung dengan dering HPnya untuk membangunkannya dari mimpi buruk, dan disadarinya ayahnyalah yang menghubunginya, perasaannya mulai tidak enak. Dia menerima panggilan itu dan berharap si kembarlah yang menghubunginya. Tetapi tebakannya salah, suara yang didengarnya adalah suara ayahnya, tak perlu diragukan lagi.
Suara yang terasa tak pernah dia dengar selama berabad – abad, menyuruh dirinya datang ke sebuah rumah sakit. Ayahnya itu tak mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, membuat hatinya semakin gelisah.
Kemudian di sinilah dia berdiri mematung, seakan – seakan tubuhnya sampai lebih dulu daripada jiwanya, sehingga dia baru menyadari bahwa dia sedang berdiri di depan pintu sambil memegang gagang pintunya. Matanya melihat sesuatu yang diyakininya sebagai fatamorgana.
Dihampirinya ayahnya, yang berdiri di samping sebuah ranjang. Kemudian dipastikannya seseorang yang berbaring di atas ranjang itu. Hingga sudah jelas siapa orang itu, maka meledaklah tangisan Hasta.
Milly, maafkanlah kakakmu ini ! “, dielusnya pipi adik yang sangat disayanginya itu, kemudian dirabanya wajah adiknya yang sebelah kiri yang tertutup oleh perban, “ Apa yang terjadi, ayah ? “,
“ Tadi malam, ada dua orang perampok yang hampir membunuh ayah, mereka berusaha menembak ayah, tetapi rupanya keberuntungan masih berpihak pada ayah karena tembakan itu meleset dan hanya mengenai daun telinga ayah. Sedangkan Milly terluka parah pada wajahnya karena berteriak memanggil orang – orang di sekitar rumah kita. Untunglah saat itu, ada segerombolan anak muda yang sering keluyuran malam – malam, yang mendengar teriakan Milly, nyawa kami tertolong ! “, kepala ayahnya tertunduk “ Ayah tidak bisa melindungi Milly ! “.
Tubuh Hasta merosot ke lantai, “ Ini semua salahku ... “, ayahnya menghampirinya dan menenangkannya, “ Bukan, Hasta ! yang kau lakukan  adalah  perbuatan yang mulia. Kau pergi dari rumah, untuk melindungi ibumu ... “, Hasta ingin mengungkapkan kebenarannya tapi ketika dia melihat wajah ayahnya yang berusaha menenangkannya, mulutnya tak sanggup mengeluarkan kata – kata,  “ ... sedangkan ayahmu ini ... mungkin ayahlah yang bersalah karena tidak mencoba untuk membantu ibumu. Malam itu kami pergi ke psikiater, dan ibumu didiagnosa menderita sakit jiwa karena sering mendengar suara – suara yang menyesatkan dalam pikirannya, itulah sebabnya ayah menceraikan ibumu untuk menjauhkan kalian darinya, agar kalian tidak mendapat pengaruh buruknya. Tapi ternyata itu bukanlah ide yang bagus, malah semakin memperburuk keadaan. Kematian ibumu yang sangat tragis itu, ayah juga sangat menyesalinya dan membuat ayah begitu takut padamu, ayah takut kau akan membalas dendam atas perbuatan ayah pada ibumu. Tadi malam ayah sadar, begitu dekatnya ayah dengan maut, dan ayah sempat berniat untuk menebus dosa ayah terhadap ibumu, tetapi malah Milly yang menjadi korban, bukan ayah .”
Ayahnya menangis dan tersungkur ke lantai. Mendengar pernyataan ayahnya itu, Hasta merasa bingung, sangat bingung, dan takut dengan beban dosa yang dipikulnya. Dia ingin sekali mengakui segala kesalahannya, berharap itu dapat mengurangi dosanya, namun mulutnya benar – benar pengecut untuk mengeluarkan kebenaran itu.
Tak kuasa menahan rasa bingung dan takut itu, tubuhnya gemetaran. Dibaringkannya tubuhnya yang lelah ke lantai yang dingin, dan matanya yang takut terpejam pun tak tahu harus melihat apa. Lalu sekilas, dilihatnya seorang polisi melewati ruangan itu, Hasta pun bangkit dan berusaha mengejarnya. Namun ketika dia keluar dari ruangan itu dan menemukan polisi itu tak jauh darinya, kakinya tak mau melangkah menghampirinya dan mulutnya lagi – lagi dibungkam oleh kepengecutannya. Hasta berteriak sekeras – kerasnya dan memukul dinding di sampingnya, menyesali sifat pengecutnya itu, tapi tak ada yang peduli, seakan – akan yang dilakukannya, sudah biasa terjadi di rumah sakit itu.
Mengiringi air matanya, suara dari dalam kepalanya pun kembali terdengar, “ Apa yang kau lakukan Hasta, menangisi sifat pengecutmu itu ? bangkitlah ! “, seperti dikontrol oleh suara itu, Hasta pun bangkit dari kesedihannya dan beranjak dari tempat itu. “ Sifat pengecut itu takkan hilang walau kau basuh dengan air matamu ! sifat itu adalah milik ayahmu yang diturunkannya padamu. Penderitaanmu itu adalah kesalahan ayahmu, Hasta ! apakah kau ingin tahu cara menghilangkan sifat pengecutmu itu ? “
“ Bagaimana caranya ? “
“ Lain kali, Hasta ... kau harus membunuh ayahmu. Bunuh ayahmu dengan tanganmu sendiri. Jangan sampai kau diperbudak oleh sifat pengecut seperti ayahmu itu “,  
Lain kali ...
Bunuh ayahmu ...
Dengan tanganmu sendiri ...
Kata – kata itu terus terdengar di benaknya, hingga dia berjalan menembus cahaya matahari yang tak mampu menembus kegelapan di hatinya.
Oleh: M. S. Nashrullah

1 komentar: