“Ini semua salah ayah ! “,
teriakan itu bergaung menembus kabut tipis yang menyelimuti pagi yang berawan,
sehingga sinar matahari yang hangat tak sanggup mengusik seorang Hasta Sauri
yang tegak berdiri di hadapan sebuah rumah. Dengan kedua belah tangannya, dia
mengangkat mayat ibundanya yang tercinta. Keringat dan air matanya yang
bercampur, mengalir jatuh ... berkilauan,
serupa dengan kilau embun yang singgah di daun yang kering pada musim kemarau.
“ Lihatlah apa yang kau lakukan
pada ibuku ! “ jeritnya, diangkatnya tubuh ibunya lebih tinggi lagi,
didekapnya erat – erat, seakan - akan tidak ingin menyerahkannya pada maut. Tetapi
ayahnya yang berada dalam rumah itu, tetap membentengi dirinya dengan
kesunyian.
Wajah - wajah suram bermunculan, menyeruak dari dalam kabut. Dengan
sorot mata yang tak bersahabat, mulut mereka komat kamit, berbisik – bisik dengan
suara yang tidak pelan, sedangkan Hasta sudah tak peduli lagi dengan segalanya.
Dengan terisak – isak, Hasta memutar tubuhnya, menghadapi wajah – wajah
sinis yang mengerumuninya, berharap mata mereka memandang ibunya dengan rasa hormat, namun mata mereka
terus saja menatap luka yang melintang di pergelangan tangan ibunya, yang
merobek nadinya, dan mengalirkan darah yang kini telah mengering.
Hasta menundukkan kepalanya di hadapan wajah – wajah itu, membiarkan
tatapan mata mereka merobek hatinya. Kedua kakinya yang tegar melangkah
membelah kerumunan itu, membelah bayangan mereka, namun tak mampu membelah tatapan
mata mereka yang terus mengiringinya menyusuri ufuk barat.
***
Awan mendung, pada senja kali ini, menaungi suasana hati yang muram.
Kala warna merah di langit, menyampaikan ucapan selamat tinggal dari matahari
dan menyampaikan kekalahannya pada sang malam, Hasta masih saja termenung di
hadapan makam ibundanya.
Dia membelai nisan makam itu, berpikir ibunya kini telah tiada. Jelas
dia cemburu dengan keadaan itu, kenapa bukan dia saja yang terbaring dalam
liang lahat itu, sehingga dia tak perlu direpotkan dengan rasa sakit ini.
Ingin sekali dia menanyakan pada ibunya, kenapa dia melakukan hal itu,
kenapa dia sampai hati menyayat nadinya tanpa mempedulikan keberadaan kedua
anaknya, Hasta dan Milly. Mungkinkah ini salah ayahnya, yang begitu tega
menceraikan ibunya.
Dia teringat pada hari yang naas itu. Waktu itu, sama seperti saat ini.
Ketika sayap - sayap sang senja terbentang menyambut datangnya sang malam yang
agung. Kedua orang tuanya baru datang dari suatu tempat, namun kelihatannya
bukan tempat yang menyenangkan. Ibunya menangis, dan berlari menaiki tangga,
lalu menabrak Hasta yang baru mau turun. Firasat buruk menghampirinya, ibunya
tertunduk dan kelihatan begitu kesakitan karena air matanya, seolah – olah yang
menghambur keluar itu adalah darahnya.
Hasta, dengan perlahan, melangkah menuju puncak tangga di hadapannya.
Dilihatnya wajah ayahnya saat itu, yang sedang menenangkan Milly, yang menangis
karena melihat ibunya menangis. “ Kenapa ?
“, ucap Hasta lirih. Dia tahu kemana semua air mata ini bermuara, diapun sudah
mendapatkan pertanda bahwa semua ini akan terjadi. Tetapi, dengan wajah yang
muram, ayahnya berkata, “ Kau takkan
mengerti ! Kau masih terlalu muda untuk mengerti masalah ini ! “, suara
ayahnya bergema bagaikan keluar dari gua yang sangat gelap.
Terlalu muda, katanya ! menurut Hasta, ayahnyalah yang bersikap kekanak – kanakan.
Begitu mudah menyerah pada cobaan dan mengambil keputusan tanpa mempedulikan
kehadiran kedua anaknya. Itu adalah sikap
pengecut yang berpikiran picik.
Ayahnya berusaha melihat ekspresi wajah anaknya, tetapi saat itu
kegelapan menutupinya, walaupun dilihatnya, tubuh Hasta agak bergetar, namun
ayahnya belum mampu menyerapi kehancuran hati Hasta. Dia hanya terdiam dan
memeluk Milly yang masih menangis.
Kasihan ibunya. Sejak saat itu, ibunya yang sangat cantik itu, jadi sangat rapuh dan
menderita.
Pada malam yang gelap, tanpa bimbingan cahaya bulan dan bintang. Hujan
turun begitu lebat, seakan – akan ingin menenggelamkan permukaan bumi, malam
itu juga. Saat itu, Hasta sudah tak tahan lagi dengan kekerasan hati ayahnya.
Dia memutuskan untuk menemani ibunya, yang lebih membutuhkan dirinya dan
mungkin lebih menyadari keberadaan anaknya.
Suara tangisan Milly, yang sedih karena ditinggalkan oleh kakaknya,
sayup – sayup terdengar, tak mampu dilenyapkan oleh suara gemercik hujan yang
lebat itu. Hasta merasa, diantara tetesan air hujan yang dingin, ada juga yang
terasa hangat, yang keluar dari matanya.
Sesampainya di rumah ibunya, barulah Hasta tersadar. Semangat yang tadi
menggebu – gebu dan membakar kesadarannya, kini hilang tersapu keputusasaan
yang merayap menghampirinya. Di sudut matanya yang digenangi air mata, terbaring
ibundanya. Matanya hampa dan tak bercahaya, seperti lubang hitam yang menghisap
semua kesadarannya.
Hari – hari yang dilalui Hasta, untuk memberinya semangat hidup,
berujung kesia – siaan. Dia terpaksa meninggalkannya sebentar, karena keperluan
kuliah, lalu cepat – cepat pulang, namun yang tertinggal di rumah itu hanyalah seonggok
daging tak bernyawa, dengan mata sayu yang tenggelam oleh air mata.
Kenangan itu kembali mengusik Hasta, dan rasa sakit yang baru saja
terlelap, kembali terjaga dan kembali merobek hatinya. Air matanya yang lahir
dari rahim kedukaan, pecah ketika menyentuh nisan makam ibunya, yang membisu
dalam kesunyian senja.
“ Hasta... “, sayup – sayup
terdengar bisikan yang lirih, entah dari mana datangnya, tiba – tiba
menghampiri Hasta, disela – sela ratapannya. “ Hasta... anakku sayang ! “, Hasta tercekat, dia pasti sudah gila,
benarkah suara ini adalah suara ibunya.
Untuk memastikannya, dia dekatkan telinganya ke makam ibunya, hingga telinganya
menyentuh tanah, “ Ibu... Ibu... benarkah itu dirimu ? “,
jeritnya. “ Benar, anakku ! aku adalah
ibumu ! “, tetapi suara itu tidak berasal dari dalam tanah. Hasta
mengangkat kepalanya dan menatap nisan makam itu, yang seperti balas
menatapnya. “ Ibu... “, panggil
Hasta, lirih.
“ Hasta... hanya akulah yang
mengerti kesedihanmu saat ini, tidak seperti ayahmu yang tidak sudi meringankan
penderitaanmu ! “. Hasta menunduk dan perlahan – lahan mengangguk, mengiyakan.
“ Ayahmu... harus menerima balasannya ! “. Hasta kembali mengangguk, wajahnya
muram. “ Ayahmu itu... dia kejam, maka kita juga harus membalasnya dengan kejam
“. Wajahnya bertambah muram, matanya menatap lurus ke arah nisan yang pucat
pasi di hadapannya. “ Kamu harus
membunuhnya, Hasta ! “.
Seketika, wajah Hasta yang penuh kebencian, berubah menjadi wajah
seorang pengecut. “ Ada apa Hasta ? rupanya kemarahanmu itu belum cukup untuk
membalas kekejaman ayahmu, ya ? kalau begitu, ingatlah kembali rasa sakit yang
kita berdua rasakan. Apa yang terjadi padaku, semuanya adalah kesalahan ayahmu,
Hasta, kasihanilah aku, balaskan
dendamku padanya ! “.
Hasta...
Bunuh dia...
Bunuh dia...
Bunuh dia !
Hasta pun beranjak dari tempatnya. Akhirnya dia mengerti, bahwa dia
harus melanjutkan hidup, namun dengan tujuan yang berbeda. Ayahnya memang harus
menerima balasan atas perbuatannya.
Dia melangkah perlahan, menyusuri kegelapan yang tidak lebih gelap daripada
jiwanya. Suara ibunya masih terus mengiringi langkahnya. Hasta menoleh ke
belakang, menyadari suara itu bukan berasal dari makam ibunya melainkan berasal
dari dirinya sendiri.
***
Kipas angin butut di sebuah rumah makan, menderu menyisir rambut Hasta
yang tebal dan hitam. Musik yang mengalun saat itupun, sayup – sayup
menghampiri telinganya dan mempermainkan perasaannya yang sedang resah. Membunuh ayahnya, bagi dirinya itu bukan
pekerjaan yang mudah. Semalaman Hasta tidak bisa tidur, hanya untuk memikirkan
bagaimana caranya agar dia bisa melaksanakan niat jahatnya itu. Oleh karena
itulah, jika dia mau tidur dengan tenang maka dia harus menyelesaikan masalah
ini hari itu juga.
Jemarinya gemetar, mengaduk – aduk makanannya hingga tak karuan lagi
bentuknya. Tiba – tiba, dua sosok datang menghampiri Hasta. Mereka duduk di
hadapannya, di meja yang sama dengannya. Mereka segera memanggil pelayan dan
memesan makanan. Sedangkan Hasta, sedari tadi menunduk memandangi makanannya
yang sudah tidak bisa membuatnya berselera untuk makan, hingga kesunyian
diantara mereka terasa sudah berlangsung selama berabad – abad, barulah Hasta
mengangkat wajahnya.
Maka tampaklah padanya dua wajah yang serupa. Mereka adalah si kembar
yang dia panggil untuk menjadi algojo bagi ayahnya. Hasta menggosok – gosokkan
kedua tangannya yang gemetaran dan memandangi mereka, seakan – akan matanyalah
yang akan berbicara.
“ Jadi bagaimana ? “, salah satu dari pria kembar itu memulai
pembicaraan. “ Aku ingin kalian membunuh ayahku ! “,
“ Hanya dia ? “,
“ Tapi tak semudah itu, aku tidak ingin orang – orang sampai
menghubungkan pembunuhan ini dengan diriku ! “,
“ Itu pekerjaan yang mudah, lalu bagaimana dengan bayaran kami ? “
“ Berapa pun yang kalian pinta, akan aku berikan. Ayahku orang kaya.
Jika pekerjaan kalian berjalan dengan baik, maka aku pasti akan bisa
mendapatkan warisan dari ayahku ! “,
Pria satunya, yang selama ini diam saja, memperhatikan mereka berdua, membuka
bungkus rokoknya, kemudian menyodorkannya kepada Hasta. Tangan gemetar Hasta
meraih salah satu rokok itu, dan dengan pasrah membiarkan rokoknya disulut oleh
pria itu.
Pria itu berucap, “ Baru pertama kali menghadapi perkara maut, ya ? “,
Hasta menggangguk perlahan. “ Aku ingin memperingatkanmu tentang aturan main
dalam perkara ini, “ pria itu memandang wajah Hasta dengan gugup, “ Maut tak
pernah berpihak kepada siapapun. Sejak kita dilahirkan, pedangnya telah
menghunus kita, siap mencabut nyawa kita. Kita takkan pernah tahu, siapa yang
akan celaka jika kita bermain – main dengannya. “ Pria itu menyudahi kata –
katanya ketika pelayan datang menghidangkan pesanan mereka, “ Lama sekali ? “
kata saudara kembarnya, jengkel. Pelayan itu hanya berkata tak karuan sebagai
jawabannya.
Setelah itu si kembar makan dengan lahap, kesunyian kembali menjelma
diantara mereka. Hasta bersandar di kursinya, menikmati rokoknya, dan menutup
matanya. Seketika, suara di sekitarnya menghilang, berganti dengan suara lirih
yang merayap ke telinganya. “ Kau takkan
mundur, kan ? “, Hasta cepat – cepat membuka matanya, dilihatnya asap yang
baru saja dihembuskannya, langsung menghilang tertiup kipas angin butut di atas
kepalanya. Dia menurunkan pandangannya, menatap si kembar yang sedang makan,
kemudian memaksa mulutnya menghabiskan sisa makanannya yang tak karuan lagi
bentuknya itu.
***
Hasta berlari dalam koridor yang pucat pasi dan terasa menghimpitnya
dengan aroma obat – obatan yang menyengat. Sesekali dia bertemu dengan orang –
orang yang berpakaian putih dan terkadang berlarian ke sana kemari dengan
panik.
Persis seperti dia saat ini, berlari – lari dengan wajah yang pucat
pasi seperti dinding yang menghimpitnya dan perasaan yang diliputi kepanikan
seperti orang – orang berpakaian serba putih itu.
Ketika fajar menggantikan kicau
burung dengan dering HPnya untuk membangunkannya dari mimpi buruk, dan
disadarinya ayahnyalah yang menghubunginya, perasaannya mulai tidak enak. Dia
menerima panggilan itu dan berharap si kembarlah yang menghubunginya. Tetapi
tebakannya salah, suara yang didengarnya adalah suara ayahnya, tak perlu
diragukan lagi.
Suara yang terasa tak pernah dia dengar selama berabad – abad, menyuruh
dirinya datang ke sebuah rumah sakit. Ayahnya itu tak mau menceritakan apa yang
sebenarnya terjadi, membuat hatinya semakin gelisah.
Kemudian di sinilah dia berdiri mematung, seakan – seakan tubuhnya
sampai lebih dulu daripada jiwanya, sehingga dia baru menyadari bahwa dia
sedang berdiri di depan pintu sambil memegang gagang pintunya. Matanya melihat
sesuatu yang diyakininya sebagai fatamorgana.
Dihampirinya ayahnya, yang berdiri di samping sebuah ranjang. Kemudian
dipastikannya seseorang yang berbaring di atas ranjang itu. Hingga sudah jelas
siapa orang itu, maka meledaklah tangisan Hasta.
“ Milly, maafkanlah kakakmu
ini ! “, dielusnya pipi adik yang sangat disayanginya itu, kemudian dirabanya wajah
adiknya yang sebelah kiri yang tertutup oleh perban, “ Apa yang terjadi, ayah ?
“,
“ Tadi malam, ada dua orang perampok yang hampir membunuh ayah, mereka
berusaha menembak ayah, tetapi rupanya keberuntungan masih berpihak pada ayah
karena tembakan itu meleset dan hanya mengenai daun telinga ayah. Sedangkan
Milly terluka parah pada wajahnya karena berteriak memanggil orang – orang di
sekitar rumah kita. Untunglah saat itu, ada segerombolan anak muda yang sering
keluyuran malam – malam, yang mendengar teriakan Milly, nyawa kami tertolong !
“, kepala ayahnya tertunduk “ Ayah tidak
bisa melindungi Milly ! “.
Tubuh Hasta merosot ke lantai, “ Ini
semua salahku ... “, ayahnya menghampirinya dan menenangkannya, “ Bukan,
Hasta ! yang kau lakukan adalah perbuatan yang mulia. Kau pergi dari rumah,
untuk melindungi ibumu ... “, Hasta ingin mengungkapkan kebenarannya tapi
ketika dia melihat wajah ayahnya yang berusaha menenangkannya, mulutnya tak sanggup
mengeluarkan kata – kata, “ ... sedangkan
ayahmu ini ... mungkin ayahlah yang bersalah karena tidak mencoba untuk
membantu ibumu. Malam itu kami pergi ke psikiater, dan ibumu didiagnosa
menderita sakit jiwa karena sering mendengar suara – suara yang menyesatkan
dalam pikirannya, itulah sebabnya ayah menceraikan ibumu untuk menjauhkan
kalian darinya, agar kalian tidak mendapat pengaruh buruknya. Tapi ternyata itu
bukanlah ide yang bagus, malah semakin memperburuk keadaan. Kematian ibumu yang
sangat tragis itu, ayah juga sangat menyesalinya dan membuat ayah begitu takut
padamu, ayah takut kau akan membalas dendam atas perbuatan ayah pada ibumu.
Tadi malam ayah sadar, begitu dekatnya ayah dengan maut, dan ayah sempat
berniat untuk menebus dosa ayah terhadap ibumu, tetapi malah Milly yang menjadi
korban, bukan ayah .”
Ayahnya menangis dan tersungkur ke lantai. Mendengar pernyataan ayahnya
itu, Hasta merasa bingung, sangat bingung, dan takut dengan beban dosa yang
dipikulnya. Dia ingin sekali mengakui segala kesalahannya, berharap itu dapat
mengurangi dosanya, namun mulutnya benar – benar pengecut untuk mengeluarkan
kebenaran itu.
Tak kuasa menahan rasa bingung dan takut itu, tubuhnya gemetaran. Dibaringkannya
tubuhnya yang lelah ke lantai yang dingin, dan matanya yang takut terpejam pun
tak tahu harus melihat apa. Lalu sekilas, dilihatnya seorang polisi melewati
ruangan itu, Hasta pun bangkit dan berusaha mengejarnya. Namun ketika dia
keluar dari ruangan itu dan menemukan polisi itu tak jauh darinya, kakinya tak
mau melangkah menghampirinya dan mulutnya lagi – lagi dibungkam oleh
kepengecutannya. Hasta berteriak sekeras – kerasnya dan memukul dinding di
sampingnya, menyesali sifat pengecutnya itu, tapi tak ada yang peduli, seakan –
akan yang dilakukannya, sudah biasa terjadi di rumah sakit itu.
Mengiringi air matanya, suara dari dalam kepalanya pun kembali
terdengar, “ Apa yang kau lakukan Hasta, menangisi sifat pengecutmu itu ? bangkitlah ! “, seperti dikontrol oleh
suara itu, Hasta pun bangkit dari kesedihannya dan beranjak dari tempat itu. “
Sifat pengecut itu takkan hilang walau kau basuh dengan air matamu ! sifat itu
adalah milik ayahmu yang diturunkannya padamu. Penderitaanmu itu adalah kesalahan ayahmu, Hasta ! apakah kau ingin
tahu cara menghilangkan sifat pengecutmu itu ? “
“ Bagaimana caranya ? “
“ Lain kali, Hasta ... kau harus membunuh
ayahmu. Bunuh ayahmu dengan tanganmu sendiri. Jangan sampai kau diperbudak
oleh sifat pengecut seperti ayahmu itu “,
Lain kali ...
Bunuh ayahmu ...
Dengan tanganmu sendiri ...
Kata – kata itu terus terdengar di benaknya, hingga dia berjalan
menembus cahaya matahari yang tak mampu menembus kegelapan di hatinya.
Oleh: M. S. Nashrullah
sngat mnegangkan,seru pkok x...
BalasHapus