Terinspirasi oleh lukisan Vincent Van Gogh yang berjudul “Starry Night”
“ Kalian benar-benar tidak mau singgah sebentar ke tempatku?” Dua gadis
itu pun menggelengkan kepala mereka, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. “Apa
kalian sudah memikirkannya matang–matang?” Mereka pun mengangguk dengan cepat,
saking cepatnya, sampai kupikir kepala mereka akan copot. “Ya, sudah!” bentakku,
mereka pun berlalu sambil menertawakan aku, dan ketika aku menutup pintu apartemenku,
kesunyian kembali menerkamku.
Aku berjalan ke dapur dan meletakkan bungkusan berisi Champagne dan Red Wine, masing–masing satu botol. Tadi, waktu aku masih di toko
minuman, aku bingung sebaiknya membeli yang mana, lalu kuputuskan membeli
keduanya. Dan sekarang, aku harus menghadapi kebingungan itu lagi, minuman apa
yang cocok untuk malam yang indah ini, tapi sepertinya Red Wine lebih berkesan romantis. Pilihan yang tepat untuk
rencanaku malam ini.
Kuletakkan sebotol Red Wine
itu dan dua buah gelas, di atas meja di balkon apartemenku, tapi aku tak kuasa
menahan diriku untuk sejenak menatap ke langit, memandang malam yang
berbintang. Entah kenapa, aku merasa aku telah menunggu malam yang indah ini
selama bertahun–tahun. Ketika aku masih muda, aku pernah berjumpa dengan malam
yang indah seperti ini. Kuhirup napas dalam-dalam, dan kurasakan udara yang
sama dengan udara pada waktu itu, malam dimana aku masih memiliki banyak
pilihan, namun sekarang yang tersisa hanya satu kesempatan.
Di bawah, kulihat semua orang bergembira, berpasang–pasangan, melangkah
dengan arah mereka masing–masing. Tidak ada orang tua malam ini, semua orang
kembali menemukan jiwa muda mereka, yang beberapa saat lalu masih terpendam
dalam tubuh renta. Begitu juga aku, aku kembali menjadi muda dan aku akan menggunakan
kesempatan ini untuk melakukan apa yang seharusnya aku lakukan sejak dulu.
Aku segera mengatur meja, meletakkan dua buah gelas berseberangan agar
aku dapat duduk berhadapan dengan tamuku. “Wah, Vincent! Jadi inilah alasanmu
sehingga kau menolak undangan makan malam bersama kami” Aku mendongak ke arah
balkon di sebelah balkon apartemenku, dan seperti yang kuduga, kata–kata itu
terlontar dari mulut sahabatku, Kevin. Kami bersahabat sejak kecil. Di
sepanjang usia kami, kami telah memecahkan berbagai masalah bersama–sama. Aku
juga masih ingat, pada suatu hari dia berlari ke arahku, dari jauh sudah
kulihat bahwa dia tersenyum, bahkan kupikir dia sudah tersenyum sejak pertama
dia berlari. Dengan terengah–engah, dia memberitahukan padaku bahwa dia telah
menemukan seorang bidadari yang sempurna untuk dicintai. Sejak itulah, aku
mengerti kata kesepian. Tidak ada lagi kami, yang ada hanya mereka berdua,
Kevin dan Nadia.
Nadia
... aku pernah berpikir bahwa Kevin terlalu beruntung bisa bersanding dengan
wanita sebaik dan secantik Nadia, dan terus terang aku tidak pernah keberatan
untuk mewarnai hidupku dengan perselingkuhan dan mengkhianati persahabatanku
dengan Kevin. Dari mata Nadia, aku juga tahu bahwa dia juga tidak keberatan. Tetapi
entah kenapa, warna itu tak pernah kutemukan dari lukisan hidupku. Memang banyak hal yang tidak bisa kumengerti.
Yang kutahu, hidupku hanya terdiri dari warna hitam dan putih, tidak
ada warna–warna lain yang membuat hidupku indah dan bergairah. Lagipula, takdirku
juga seperti arus sungai yang mengalir lembut memanjakan, takkan ada badai
dengan gelombang raksasa yang akan menghantam dan menenggelamkanku. Mungkinkah ini yang dimaksud dengan sepi.
“Begitulah kehidupan, Vincent. Terus mengalir,” kata–kata Kevin
membuyarkan lamunanku, “Kupikir masih akan ada banyak cerita untuk pria paruh
baya sepertimu,” Dia terdiam sejenak, menghirup rokoknya kuat–kuat dan
menghembuskan asapnya hingga menutupi wajahnya, “Aku tak pernah berpikir bahwa
kau akan patah semangat hanya karena istrimu telah ... meninggal.”
“Ah, masa? Sepertinya baru
kemarin kudengar kau berkata pada Romi bahwa aku telah hancur dan kelihatannya
kalian tak memiliki harapan lagi untuk bisa melihat aku kembali seperti dulu.”
Kevin hanya tertawa, malam seindah ini takkan bisa menyisakan
penyesalan atas kebohongan, seperti apapun bentuknya. Aku menuangkan Red Wine
itu ke dalam dua gelas yang telah kusediakan, “Bagaimana menurutmu, bukankah Red Wine adalah pilihan yang tepat untuk
menikmati malam yang indah ini?” Kevin mengangguk perlahan.
Tiba–tiba
wajah ayu Nadia menyembul dari dalam apartemennya,
“Sayang, anak–anakmu sedang menunggumu di dalam,”
Kevin merangkul pinggang istrinya dengan mesra, “Lihatlah Vincent,
sayang! Dia sudah bisa melanjutkan hidupnya kembali,”
“Syukurlah kalau begitu, kau tentu tahu kami selama ini selalu
mengkhawatirkan keadaanmu, aku bahkan mulai berpikir untuk menjodohkanmu dengan
Rima,” Nadia lalu tertawa, kami semua jadi tertawa.
“Kau pikir, seleraku jadi rendah sepeninggal istriku?” Nadia menolak anggapanku itu, begitu juga kevin.
Mereka kemudian masuk ke dalam apartemennya, dan lenyap dari pandanganku.
Aku duduk di kursi, di salah satu sisi meja. Kutengadahkan kepalaku,
memandangi langit yang penuh bintang. Bintang–bintang itu menatapku dengan
manja, seperti mata Erin, istriku. Bagaimana
dengan dia, yang juga memiliki banyak pilihan. Wanita secantik dia, bisa
saja berselingkuh dengan pria lain, atau sekalian saja, pergi meninggalkanku.
Namun Erin, wanita yang tanpa cela, dia tidak pernah memberikan warna itu pada
hidupku, dia tetap setia pada seorang pelukis miskin sepertiku. Bahkan ketika
tubuhnya tak sanggup lagi menanggung beban penyakit dan jiwanya pergi menjalani
hidup baru di dunia lain, dia tidak menutup matanya, yang masih terus menatapku
dengan manja, seperti saat pertama aku mencintainya.
Aku masih ingat, ketika dia terserang penyakit itu, aku berpikir,
inilah kesempatanku untuk mengoleskan warna–warna itu ke dalam hidupku. Aku
ingin sekali meninggalkannya, sendirian menanggung penderitaannya, membuatnya
menangisi kepergianku tiap malam, sedangkan aku bersenang–senang dengan para
pelacur dan menggoreskan lekuk tubuh mereka ke dalam lukisanku. Bagiku,
begitulah kehidupan yang penuh gairah. Tetapi aku sendiri, juga tak pernah
memilih jalan itu. Aku selalu berada di samping Erin, memegang erat tangannya,
tersenyum padanya, memberinya semangat. Saat itu, aku selalu teringat perasaan
cintaku padanya, bagaimana dia memarahiku ketika aku tak bersemangat untuk
melukis, dan bagaimana perjuangannya untuk melahirkan putraku, Tony.
Yang aku tahu, sama seperti yang
dia ketahui, dan mungkin juga seperti yang diketahui semua orang, bahwa dia tak
mungkin bisa bertahan dari serangan penyakitnya. Oleh karena itulah, di setiap
detik sisa waktunya, aku ingin mempersembahkan saat–saat yang paling membahagiakan
untuknya, walaupun detik–detik itu adalah saat yang paling tidak menyenangkan
bagiku.
Kumasukkan sesuatu ke dalam
gelas minumanku yang telah terisi, kemudian mengaduknya dengan jariku. Aku
meminumnya dengan perlahan. Kupaksa mulutku untuk menelannya demi diriku
sendiri. Entah kenapa, ketika aku minum, aku teringat pada putra tunggalku,
Tony. Dia masih muda dan masih banyak pilihan. Aku pernah berharap banyak
padanya. Berharap dialah yang akan mengisi lukisan hidupku dengan warna–warna
itu. Namun dengan sendirinya aku merasa itu tak mungkin. Dia anak yang terlalu
baik, dia sangat menghargai jerih payahku untuk membesarkannya, dia mengisi
hari–hariku dengan ketertarikannya pada lukisanku, bahkan sekarang dia sedang
memperdalam ilmu seni lukisnya di sebuah univesitas di luar kota. Anak yang
sempurna, semua ayah di seluruh dunia pasti bangga.
Anak itu ... orang bilang aku beruntung memilikinya, dan aku bilang
keberuntungan itu membuat lukisan hidupku menjadi pucat pasi. Aku tidak ingin
kehidupan yang datar dan sunyi. Yang aku inginkan adalah kehidupan yang penuh
dengan gejolak dan pemberontakan jiwa dalam konflik kehidupan, walaupun itu
berarti hidupku penuh dengan air mata dan kesakitan.
Sakit
... tubuhku sedang merasakan sakit. Sesuatu
yang kumasukkan ke dalam minumanku, telah mengerjakan tugasnya. Sesuatu itu adalah racun, yang mulai mendesak jantungku. Aku merintih, tubuh dan
tanganku gemetar menahan sakit, mataku pun berkunang–kunang, tapi aku masih
mampu melihat dengan jelas, satu bintang turun perlahan ke bumi.
Bukan
... cahaya itu ... ah, akhirnya tamu yang kutunggu telah
datang, tetapi dia datang dengan wajah yang muram, kenapa? Mungkinkah dia tidak suka Red Wine?
Tiba–tiba HP-ku berdering, dengan sisa tenagaku, kuraih HP-ku dan
kutekan tombolnya. “Halo, apakah saya berbicara dengan bapak Vincent?” kata
suara itu. Aku mencoba mengiyakan tapi yang keluar dari tenggorokanku hanyalah
suara tersentak yang parau. “Eee ... begini, pak. Putra anda yang bernama Tony-
eh, benarkan nama anak anda Tony? Saat ini dia sedang ditahan di kantor polisi
karena terlibat kasus Narkoba ...”
Aku segera memutuskan hubungan, dan berusaha segera menghubungi Kevin,
aku harus meminta pertolongan selagi ada kesempatan. Akhirnya ... sudah lama kutunggu saat seperti ini, ternyata anakkulah
yang memberikan warna ini ke dalam hidupku, sesuatu yang kukira tidak mungkin.
Tetapi masih adakah kesempatan?
Serangan rasa sakit karena racun itu semakin tak tertahankan, tubuh dan
tanganku gemetaran hebat, membuat Hp-ku jatuh ke lantai, mulutku mengeluarkan
busa, dan tamuku ... ya ... malaikat maut itu, menjulurkan tangannya
ke arahku, aku sudah tak tertolong lagi.
Oleh: M. S. Nashrullah
Gambut, 15 Februari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar