Sponsor

Rabu, 19 Januari 2011

MEMANDANGI SEBUAH JENDELA

Raka bergegas keluar dari kafe, tempat dia biasa menghabiskan sekian lama waktu yang dianggapnya membosankan. Dia sudah terlalu jenuh dengan segala kebisingan suara–suara omong kosong yang keluar dari tenggorokan orang–orang sok akrab dalam kafe itu, sehingga dia tidak sadar, waktu yang membosankan itu masih terlalu panjang.
Dia bersandar pada tiang lampu trotoar yang menyinari orang–orang yang berlalu di sampingnya. Persis seperti dia, wajah mereka menyiratkan kebosanan, bosan terhadap kehidupan, mungkin. Dirogohnya saku jaketnya, lalu ditemukannya kotak rokok yang hanya menyisakan sebatang rokok untuknya, agak sedih jadinya perasaan Raka, saat kebahagiaan itu harus dibatasi oleh sesuatu yang disebut dengan “akhir”. 
Ketika dia memandangi sebuah jendela di sebuah Flat yang berdiri di seberangnya, perasaan sedih yang berbeda, mengiris ulu hatinya. Cahaya yang menyapanya dari jendela itu pernah sangat dirindukan olehnya. Mungkin tidak tepat jika cahaya itu yang dirindukannya, tetapi seseorang yang menyalakan cahaya itulah yang menjadi idamannya. Seorang wanita yang dulu selalu memandang Raka dari jendela itu, ketika dia juga menatap wajahnya yang ayu dari depan kafe, tepat dimana saat ini dia berdiri, namun sekarang wanita itu tak lagi menampakkan wajahnya.
Raka dengan perlahan menyulut rokoknya dan menghisapnya dengan penuh penghayatan, seakan–akan rokoknya itu bisa menghilangkan segala kesedihannya. Dia teringat dengan masa yang lalu, masa dimana dia pertama kali menatap wajah wanita itu yang saat itu sedang terlihat sedih sedangkan dia, entah kenapa, hanya tersenyum padanya.
Mungkin itu bukanlah cinta pada pandangan pertama, tapi lama–lama hal itu menjadi sesuatu yang harus dilakukannya tiap malam, memandang wajah wanita itu dan tersenyum, hanya itu. Tetapi wanita itu juga selalu menunggunya, paling tidak alasan itulah yang terpikirkan oleh Raka, sehingga wanita itu selalu memperlihatkan wajahnya pada Raka dan tersenyum, seakan tak ingin mengecewakan rasa rindu Raka.
Masa itu adalah masa yang terindah, hingga segalanya menjadi suatu rutinitas yang membosankan tanpa ada kemajuan. Hubungan yang lebih serius, hal itulah yang ditakutkan oleh Raka selama ini. Dia terlalu pengecut, sehingga tak mampu mendekatinya dan menyapanya, apalagi harus memulai hubungan yang serius dengannya. Itu merupakan masalah baru baginya, dan dia merasa tidak memiliki bakat untuk bisa menyelesaikan masalah itu.
Apa lagi yang kau tunggu?” bentak Gary, sahabatnya, ketika Raka untuk keseribu kalinya, memandangi sebuah jendela yang menghadirkan wajah ayu yang selalu dirindukannya. “Apakah kau ingin dia diambil oleh orang lain, mungkin saja saat ini ada orang lain yang sedang menunggu waktu yang tepat untuk mendekatinya!“
Ah, kau tak mengerti!” keluh Raka, “Itu tak semudah yang kau pikirkan!”
“Menyapa dan mengajak berkenalan wanita cantik, itu sangat mudah, aku sering melakukannya. Kau hanya perlu mencobanya sekali dan kau akan tahu bahwa itu sangat mudah!”
Itu karena kita berbeda!” Mata Raka menyoroti tingkah laku sahabatnya yang sedang meremehkannya, “Bagimu itu mudah karena kau memang selalu menganggap enteng segalanya!”
“Kita berbeda karena kau tidak pernah mau mencoba, tidak seperti aku. Bagiku, segalanya pantas untuk dicoba. Yah, mungkin tidak segalanya,” Gary terdiam sejenak, merenungi kata–katanya sendiri. “Kau tahu, kita sudah bersahabat sejak kecil, sudah banyak masalah yang telah kita hadapi bersama–sama, dan tak ada yang tidak bisa kita selesaikan. Aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Kau takkan bisa meneruskan hidupmu jika kau tak bisa mengatasi masalahmu ini. Jika mau maju, terus saja maju tanpa memperdulikan rintangan. Atau jika mau mundur, mundur saja tanpa harus menyesali kemudahan–kemudahan yang sebenarnya bisa kau dapatkan. Yang terpenting jangan setengah–setengah, kau hanya akan membebani dirimu jika kau ragu–ragu!”
Mengingat kata-kata itu, kepala Raka manggut–manggut. Tidak ada yang salah dengan kata–kata itu, Gary memang pandai menyusun kata–kata. Hanya saja, kata–kata yang begitu indah dan penuh motivasi itu, belum mampu menggerakkan hatinya yang membeku.
Kata–kata indah itu adalah kata–kata terakhir dari pertemuan mereka yang terakhir karena setelah itu Gary jadi terlalu sibuk untuk mengurusi masalahnya. Gary mungkin sudah bosan, dan mungkin wanita itu juga, senyumnya semakin lama semakin memudar, dan akhirnya yang tersisa hanyalah sebuah kerutan di keningnya.
Memalukan, Raka jadi merasa bersalah dan merasa salah dengan apapun yang dia lakukan. Memang sejak awal ini tidak benar, tidak seharusnya dia mempermainkan wanita itu, dengan tersenyum padanya, jika dirinya – seperti yang dia tahu, takkan mampu menyelesaikannya.
Raka menghembuskan asap rokoknya untuk kesekian kalinya, dan diperhatikannya, bagaimana kepulan asap itu menggigil di tengah udara malam yang membekukan. Serangga yang beterbangan mengelilingi lampu trotoar itupun kelihatannya ingin terus bergerak untuk menghilangkan rasa dingin yang menusuk tubuh mereka. Sayap–sayap mereka yang mengigil, terus mendorong mereka, mengejar helai–helai kilau cahaya lampu trotoar yang membeku.
Cahaya, lagi–lagi tentang cahaya.   
Seketika dipejamkannya matanya untuk beberapa detik, disesalinya sesuatu yang telah dipersembahkan oleh cahaya itu kepadanya. Dihisapnya rokoknya dengan gugup, dengan tangan yang gemetar.
Lalu dibukanya matanya, perlahan.
Dua sosok bayangan berjalan beriringan, menyusuri trotoar di seberang Raka. Gary dan wanita itu, sepertinya yang mereka injak saat ini bukanlah trotoar itu tetapi hati Raka, sakit sekali.
Mereka saling memandang, saling tersenyum, seperti dirinya dahulu. Wanita itu, menggerakkan bibirnya yang indah, terus berkata–kata, seakan–akan ingin menghabiskan seluruh kata–kata yang ada di dunia ini dalam satu malam. Sedangkan Gary, terus menatap wajah ayu wanita itu, seakan–akan besok dia takkan bisa melihatnya lagi.
Ketika mereka telah sampai di depan Flat wanita itu, mereka berhenti, tetapi senyum mereka, tatapan mereka, kemesraan mereka, belumlah usai.
Tiba–tiba saja, Gary mendekatkan bibirnya kepada wanita itu yang dengan sabar menantinya. Gary mencium bibir yang selama ini selalu tersenyum kepada Raka, di hadapan Raka pula.
Saat itu, Raka tak bisa lagi meneruskan untuk tetap membuka matanya. Matanya terpaksa terpejam, untuk menghindari luka di hatinya, mengalirkan kesedihan ke matanya. Sehingga Raka tak tahu apakah akhirnya Gary melihat dirinya atau tidak, lagi pula dia tak peduli.
Raka kembali membuka matanya beberapa saat kemudian, dan menyadari bahwa api rokoknya telah membakar filternya. Dengan wajah yang muram dia menjatuhkan puntung rokoknya, dan melumatnya, dia sudah tak punya rokok lagi, untuk menemaninya malam ini.
Dia menatap ke seberang, cahaya itu masih ada, tapi takkan lama, sebentar lagi akan berganti dengan kegelapan.
Raka menghirup napas dalam-dalam dan mulai beranjak dari tempatnya berdiri. Dia tak tahu lagi harus kemana malam ini, dia tak ingin kembali ke dalam kafe dan dia juga tak ingin pulang ke rumah. Dia bahkan tak ingin melihat malam ini berakhir, seperti dia melihat cinta dan persahabatannya berakhir. 
Oleh: M. S. Nashrullah

1 komentar: