Raka bergegas keluar dari kafe, tempat dia biasa menghabiskan sekian
lama waktu yang dianggapnya membosankan. Dia sudah terlalu jenuh dengan segala
kebisingan suara–suara omong kosong yang keluar dari tenggorokan orang–orang
sok akrab dalam kafe itu, sehingga dia tidak sadar, waktu yang membosankan itu
masih terlalu panjang.
Dia bersandar pada tiang lampu trotoar yang menyinari orang–orang yang
berlalu di sampingnya. Persis seperti dia, wajah mereka menyiratkan kebosanan,
bosan terhadap kehidupan, mungkin. Dirogohnya
saku jaketnya, lalu ditemukannya kotak rokok yang hanya menyisakan sebatang
rokok untuknya, agak sedih jadinya perasaan Raka, saat kebahagiaan itu harus
dibatasi oleh sesuatu yang disebut dengan “akhir”.
Ketika dia memandangi sebuah jendela di sebuah Flat yang berdiri di seberangnya, perasaan sedih yang berbeda,
mengiris ulu hatinya. Cahaya yang menyapanya dari jendela itu pernah sangat
dirindukan olehnya. Mungkin tidak tepat jika cahaya itu yang dirindukannya,
tetapi seseorang yang menyalakan cahaya itulah yang menjadi idamannya. Seorang
wanita yang dulu selalu memandang Raka dari jendela itu, ketika dia juga
menatap wajahnya yang ayu dari depan kafe, tepat dimana saat ini dia berdiri,
namun sekarang wanita itu tak lagi menampakkan wajahnya.
Raka dengan perlahan menyulut rokoknya dan menghisapnya dengan penuh
penghayatan, seakan–akan rokoknya itu bisa menghilangkan segala kesedihannya.
Dia teringat dengan masa yang lalu, masa dimana dia pertama kali menatap wajah
wanita itu yang saat itu sedang terlihat sedih sedangkan dia, entah kenapa, hanya tersenyum padanya.
Mungkin itu bukanlah cinta pada pandangan pertama, tapi lama–lama hal
itu menjadi sesuatu yang harus dilakukannya tiap malam, memandang wajah wanita
itu dan tersenyum, hanya itu. Tetapi
wanita itu juga selalu menunggunya, paling tidak alasan itulah yang terpikirkan
oleh Raka, sehingga wanita itu selalu memperlihatkan wajahnya pada Raka dan tersenyum,
seakan tak ingin mengecewakan rasa rindu Raka.
Masa itu adalah masa yang terindah, hingga segalanya menjadi suatu
rutinitas yang membosankan tanpa ada kemajuan. Hubungan yang lebih serius, hal
itulah yang ditakutkan oleh Raka selama ini. Dia terlalu pengecut, sehingga tak
mampu mendekatinya dan menyapanya, apalagi harus memulai hubungan yang serius
dengannya. Itu merupakan masalah baru baginya, dan dia merasa tidak memiliki
bakat untuk bisa menyelesaikan masalah itu.
“Apa lagi yang kau tunggu?”
bentak Gary, sahabatnya, ketika Raka untuk keseribu kalinya, memandangi sebuah
jendela yang menghadirkan wajah ayu yang selalu dirindukannya. “Apakah kau
ingin dia diambil oleh orang lain, mungkin saja saat ini ada orang lain yang
sedang menunggu waktu yang tepat untuk mendekatinya!“
“Ah, kau tak mengerti!” keluh Raka, “Itu tak semudah yang kau pikirkan!”
“Menyapa dan mengajak berkenalan wanita cantik, itu sangat mudah, aku
sering melakukannya. Kau hanya perlu mencobanya sekali dan kau akan tahu bahwa
itu sangat mudah!”
“Itu karena kita berbeda!” Mata
Raka menyoroti tingkah laku sahabatnya yang sedang meremehkannya, “Bagimu itu
mudah karena kau memang selalu menganggap enteng segalanya!”
“Kita berbeda karena kau tidak pernah mau mencoba, tidak seperti aku.
Bagiku, segalanya pantas untuk dicoba. Yah, mungkin
tidak segalanya,” Gary terdiam sejenak, merenungi kata–katanya sendiri. “Kau
tahu, kita sudah bersahabat sejak kecil, sudah banyak masalah yang telah kita
hadapi bersama–sama, dan tak ada yang tidak bisa kita selesaikan. Aku hanya
ingin yang terbaik untukmu. Kau takkan bisa meneruskan hidupmu jika kau tak
bisa mengatasi masalahmu ini. Jika mau maju, terus saja maju tanpa
memperdulikan rintangan. Atau jika mau mundur, mundur saja tanpa harus menyesali
kemudahan–kemudahan yang sebenarnya bisa kau dapatkan. Yang terpenting jangan
setengah–setengah, kau hanya akan membebani dirimu jika kau ragu–ragu!”
Mengingat kata-kata itu, kepala Raka manggut–manggut. Tidak ada yang
salah dengan kata–kata itu, Gary memang pandai menyusun kata–kata. Hanya saja,
kata–kata yang begitu indah dan penuh motivasi itu, belum mampu menggerakkan
hatinya yang membeku.
Kata–kata indah itu adalah kata–kata terakhir dari pertemuan mereka
yang terakhir karena setelah itu Gary jadi terlalu sibuk untuk mengurusi
masalahnya. Gary mungkin sudah bosan, dan mungkin wanita itu juga, senyumnya
semakin lama semakin memudar, dan akhirnya yang tersisa hanyalah sebuah kerutan
di keningnya.
Memalukan, Raka jadi merasa bersalah dan merasa salah dengan apapun yang dia
lakukan. Memang sejak awal ini tidak benar, tidak seharusnya dia mempermainkan
wanita itu, dengan tersenyum padanya, jika dirinya – seperti yang dia tahu,
takkan mampu menyelesaikannya.
Raka menghembuskan asap rokoknya untuk kesekian kalinya, dan
diperhatikannya, bagaimana kepulan asap itu menggigil di tengah udara malam
yang membekukan. Serangga yang beterbangan mengelilingi lampu trotoar itupun
kelihatannya ingin terus bergerak untuk menghilangkan rasa dingin yang menusuk
tubuh mereka. Sayap–sayap mereka yang mengigil, terus mendorong mereka, mengejar
helai–helai kilau cahaya lampu
trotoar yang membeku.
Cahaya, lagi–lagi tentang cahaya.
Seketika dipejamkannya matanya untuk beberapa detik, disesalinya
sesuatu yang telah dipersembahkan oleh cahaya itu kepadanya. Dihisapnya
rokoknya dengan gugup, dengan tangan yang gemetar.
Lalu dibukanya matanya, perlahan.
Dua sosok bayangan berjalan beriringan, menyusuri trotoar di seberang
Raka. Gary dan wanita itu, sepertinya
yang mereka injak saat ini bukanlah trotoar itu tetapi hati Raka, sakit sekali.
Mereka saling memandang, saling tersenyum, seperti dirinya dahulu. Wanita itu, menggerakkan bibirnya yang
indah, terus berkata–kata, seakan–akan ingin menghabiskan seluruh kata–kata
yang ada di dunia ini dalam satu malam. Sedangkan Gary, terus menatap wajah ayu
wanita itu, seakan–akan besok dia takkan bisa melihatnya lagi.
Ketika mereka telah sampai di depan Flat
wanita itu, mereka berhenti, tetapi senyum mereka, tatapan mereka, kemesraan
mereka, belumlah usai.
Tiba–tiba saja, Gary mendekatkan bibirnya kepada wanita itu yang dengan
sabar menantinya. Gary mencium bibir yang selama ini selalu tersenyum kepada
Raka, di hadapan Raka pula.
Saat itu, Raka tak bisa lagi meneruskan untuk tetap membuka matanya.
Matanya terpaksa terpejam, untuk menghindari luka di hatinya, mengalirkan
kesedihan ke matanya. Sehingga Raka tak tahu apakah akhirnya Gary melihat
dirinya atau tidak, lagi pula dia tak
peduli.
Raka kembali membuka matanya beberapa saat kemudian, dan menyadari
bahwa api rokoknya telah membakar filternya.
Dengan wajah yang muram dia menjatuhkan puntung rokoknya, dan melumatnya, dia
sudah tak punya rokok lagi, untuk menemaninya malam ini.
Dia menatap ke seberang, cahaya itu masih ada, tapi takkan lama,
sebentar lagi akan berganti dengan kegelapan.
Raka menghirup napas dalam-dalam dan mulai beranjak dari tempatnya
berdiri. Dia tak tahu lagi harus kemana malam ini, dia tak ingin kembali ke
dalam kafe dan dia juga tak ingin pulang ke rumah. Dia bahkan tak ingin melihat
malam ini berakhir, seperti dia melihat cinta dan persahabatannya berakhir.
Oleh: M. S. Nashrullah
so sweet....
BalasHapus